Rumi Tidak Menjawab- Ia meratap. Tetapi tangisnya bukan jeritan. Cuma air yang jatuh tanpa suara. Semacam syair yang lenyap ditelan gelombang.
Konya masa semi yang tidak semacam umumnya. Bunga almond mengembang saat sebelum waktunya, serta para pengunjung tiba lebih dini, bisa jadi sebab mereka letih menunggu perdamaian yang tidak menyambangi datang di tempat- tempat yang apalagi tidak mereka pahami.
Di antara pengunjung itu, terdapat seseorang pria bernama Taha, baya 4 puluh 2, wartawan bebas dari Amman, Yordania. Beliau tidak tiba buat berkunjung. Beliau tiba sebab letih. 2 tahun terakhir, beliau beralih dari Gaza ke Aleppo, kemudian ke Beirut, menulis mengenai keadaan yang tidak dapat lagi dituliskan. Beliau jenuh memandang kanak- kanak meratap di tengah reruntuhan gedung. Lebih dari itu, beliau khawatir hatinya tidak dapat merasakan apa- apa lagi.
Beliau carter kamar kecil di dekat kuburan Jalaluddin Rumi. Kamar itu terletak di lantai 2 rumah kusen berumur yang dindingnya dihiasi lukisan kukila serta puisi- puisi Persia, dipajang semacam karpet yang sangat kerap dicuci. Owner rumah itu, seseorang perempuan berumur bernama Fatma, tidak banyak ucapan. Beliau cuma melayankan teh gelap serta sebagian roti ceper tiap pagi.
” Seluruh orang tiba ke mari dengan bobot,” tutur Fatma pada hari awal,” tetapi tidak seluruh kembali lebih enteng.”
Taha menganggut, walaupun tidak percaya beliau mau kembali.
Tiap pagi, beliau bersandar di depan kuburan Rumi. Beliau tidak berharap, tidak pula meratap. Beliau cuma bungkam. Di sekelilingnya, para pengunjung meratap, berharap, memegang pualam dengan air mata. Tetapi Taha cuma bersandar. Kadangkala membaca. Kadangkala tidur. Kadangkala menulis memo pendek di novel kantong yang telah kotor oleh abu rokok.
” Palestina bukan denah. Beliau suara ibu- ibu yang tidak dapat jerit,” tulisnya sesuatu pagi.
Ataupun:” Iran serta Israel silih memandang semacam 2 orang berumur yang telah kurang ingat alibi mereka berkelahi.”
Beliau tidak menulis supaya dibaca orang lain. Beliau menulis sebab jika tidak, tangannya semacam mati.
Sesuatu siang, dikala langit Konya mulai berganti jadi abu pucat, Taha berjumpa seseorang wanita. Namanya Ameenah, wanita belia dari Qatif, Arab Saudi. Beliau menggunakan kerudung biru hitam serta bawa novel Rumi versi Arab, yang tamannya diisyarati dengan lipatan- lipatan kecil. Mereka bersandar di halaman, tanpa hasrat ucapan, tetapi kesimpulannya ucapan juga—seperti 2 orang yang hampir karam serta bertepatan bergandengan pada cabang yang serupa.
” Buat apa membaca Rumi?” pertanyaan Ameenah.
” Tidak buat apa- apa,” jawab Taha.” Karena Rumi cuma mau berajojing dengan sepi.”
Ameenah tersimpul.” Tetapi kita tidak lagi dapat berajojing.”
Mereka mulai berdialog lebih banyak. Mengenai Syiah serta Sunni, mengenai bom bunuh diri di Damaskus, mengenai barak pengungsi di Rafah, mengenai ibunya yang tidak dapat membaca syair tetapi yakin kalau doa dapat memulihkan cedera hati.
Taha tidak menarangkan kalau bapaknya berpulang di pinggiran sebab dituduh menyeludukkan novel. Beliau cuma mengatakan,” Saya tidak ketahui apa yang dapat diselamatkan dari syair.”
Serta Ameenah menanggapi,” Kadangkala kita tidak melindungi syair. Syair yang melindungi kita.”
Hari- hari selanjutnya, mereka berjalan bersama. Tidak semacam sejodoh pacar, tetapi semacam 2 orang asing yang tidak memiliki siapa- siapa lagi. Mereka membaca syair di halaman, memberi rokok, bersandar di pinggir pasar malam, serta membahas ayat- ayat yang kurang ingat maknanya.
Bapaknya tidak mau buah hatinya bersandar bersama orang yang memercayai Ali sangat besar.
Ameenah menceritakan kalau beliau nyaris menikah, tetapi tertunda sebab perbandingan ajaran.” Bapaknya tidak mau buah hatinya bersandar bersama orang yang memercayai Ali sangat besar.”
Taha menanggapi,” Ibuku tidak dapat melainkan Sunni serta Syiah. Tuturnya, jika bersama lapar, seluruh orang berharap dengan bahasa yang serupa.”
Kadangkala mereka tersimpul, kadangkala silih bungkam. Tetapi tidak terdapat desakan buat lebih dari itu. Tidak terdapat konsep. Tidak terdapat era depan. Cuma dikala ini—dan kuburan Rumi yang senantiasa bungkam.
Sesuatu pagi, Taha bangun dengan berita kurang baik. Roket menghantam Rafah. Barak pengungsi dibakar. Beliau mengidentifikasi nama- nama di layar: kanak- kanak yang dahulu beliau potret sembari tersimpul serta melontarkan batu. Kanak- kanak yang mukanya melekat di lembar catatannya.
Beliau pergi tanpa makan pagi. Bersandar di depan kuburan Rumi lebih lama dari umumnya. Beliau menunggu suatu. Bisa jadi suara. Bisa jadi penghiburan. Tetapi yang tiba cuma angin.
Ameenah tiba menyusul.
” Mereka mati,” tutur Taha.” Serta saya di mari, membaca syair.”
Ameenah tidak menanggapi. Beliau cuma bersandar. Mereka bungkam lama.
” Mengapa kita tiba ke mari?” gemam Taha.
” Bisa jadi sebab kita mau yakin kalau cinta sedang dapat menarangkan bumi,” jawab Ameenah.
Taha mesem susah.” Tetapi Rumi tidak menanggapi.”
Malam itu, hujan turun. Asbes kamar bocor. Taha tidak tidur. Beliau menulis pesan, tidak tahu buat siapa. Bisa jadi buat Ameenah. Bisa jadi buat kanak- kanak yang tidak luang berusia. Bisa jadi buat Rumi.
” Jika cinta merupakan Tuhan, kenapa beliau membiarkan ini seluruh?
Jika syair merupakan jembatan, mengapa tidak sempat hingga?
Apakah gaya tari itu lumayan buat mengambil alih makam?”
Beliau menaruh pesan itu di dasar alas, kemudian pergi. Kota telah hening. Beliau berjalan ke laman kuburan. Tanpa dasar kaki. Hujan menyiram rambut serta mukanya. Beliau berdiri di depan pualam dingin, kemudian berbisik:
” Jika anda di mari, Rumi, bantu tuturkan satu perihal saja. Apa yang wajib kita jalani dikala bumi retak?”
Tidak terdapat balasan. Cuma gemerisik hujan serta angin dari selatan.
Beliau meratap. Tetapi tangisnya bukan jeritan. Cuma air yang jatuh tanpa suara. Semacam syair yang lenyap ditelan gelombang.
Janganlah cari saya di batu batu kubur. Saya tidak di situ. Saya hidup di embusan yang anda meminum.
Keesokan paginya, Ameenah menciptakan pesan itu. Beliau membacanya ayal. Mukanya tidak berganti. Beliau melekuk kertas itu, memasukkannya ke dalam novel Rumi kepunyaannya, kemudian pergi.
Beliau mencari Taha di halaman, di gerai teh, di depan kuburan. Tetapi beliau tidak terdapat. Apalagi Fatma juga tidak ketahui ke mana beliau berangkat.
Bumi maya diramaikan oleh pembicaraan sekeliling Rumi, putra anak pertama pendamping selebritas Cantik Bidadari serta Regi Datau, yang tiba- tiba diam dari pancaran khalayak. Ketetapan Rumi buat lenyap dari alat sosial serta menyangkal permohonan tanya jawab dari beberapa alat sudah mengakibatkan pemikiran, sokongan, sampai kebingungan.
Wujud anak muda berumur 17 tahun ini lebih dahulu diketahui aktif memberi rutinitas lewat akun alat sosial kepunyaannya. Beliau pula lumayan terbuka memberikan pemikiran individu mengenai pembelajaran, kedekatan anak serta orang berumur, sampai kegelisahan khas Gen Z. Tetapi, semenjak dini Juni 2025, akun Rumi tiba- tiba tidak lagi aktif. Seluruh unggahan dihapus. Kolom pendapat dinonaktifkan. Tidak terdapat berita ataupun keterangan dari pihak keluarga. Rumi tidak menanggapi.
Sepi yang Membingungkan
Dini mula kecemasan khalayak timbul dikala Rumi tidak muncul dalam kegiatan balik tahun perkawinan orang tuanya yang ke- 14. Sementara itu, dalam tahun- tahun lebih dahulu, Rumi diketahui amat dekat dengan ibunya serta kerap menulis pesan- pesan manis yang memegang batin netizen.
Kehabisan jejak digital Rumi menimbulkan bermacam pemikiran. Di X( dahulu Twitter), tagar#RumiTidakMenjawab luang jadi trending topic nasional sepanjang 2 hari beruntun. Beberapa netizen membahayakan kesehatan psikologis Rumi, sedangkan yang lain menyangka ini bagian dari strategi keluarga buat menjauhi pemberitaan miring yang luang mencuat tahun kemudian.
“ Aku cuma mau ketahui, apakah ia serius saja. Bukan sebab aku kepo, tetapi sebab aku sempat ngerasain rasanya lenyap durasi bumi sangat berisik,” catat akun@suaragenz, disambut ribuan ciri senang serta retweet.
Cantik Bidadari Bungkam
Dihubungi oleh alat dalam sebagian peluang, Cantik Bidadari tidak berikan asumsi jelas. Dalam salah satu tanya jawab, beliau cuma mesem pipih serta mengatakan,“ Doakan saja yang terbaik.”
Tindakan seragam pula ditunjukkan Regi Datau yang nampak menjauh dari persoalan badan alat sehabis kegiatan korporat di area SCBD, Jakarta. Tidak terdapat satu juga statment sah dari keluarga mengenai kehadiran ataupun situasi Rumi. Kala ditanya mengenai berita si putra, cuma terdapat perkataan pendek,“ Rumi memerlukan ruang.”
Apakah ini berarti Rumi tengah menempuh cara penyembuhan? Ataukah beliau memanglah terencana menghindar dari pancaran untuk melindungi dirinya sendiri?
Psikolog: Alami Apabila Anak muda Memilah Diam
Psikolog kemajuan anak muda, dokter. Fadhilah Kamila, Meter. Psi, berkata kalau diamnya Rumi dapat jadi wujud coping mechanism.
“ Banyak anak muda yang letih dengan titik berat ekspektasi. Dikala hidup mereka selalu ditaksir, apalagi oleh khalayak yang tidak mereka tahu, hingga memilah bungkam dapat jadi wujud proteksi diri,” jelasnya pada alat.
Beliau meningkatkan kalau orang berumur khalayak bentuk butuh membagikan proteksi yang lebih ekstra kepada kanak- kanak mereka.“ Kehidupan anak bintang film itu semacam 2 bagian mata duit. Mereka memiliki banyak kesempatan, tetapi pula resiko besar kepada titik berat sosial serta lenyapnya pribadi,” tambahnya.
Gaduh Pengertian serta Konspirasi
Tidak cuma belas kasih, diamnya Rumi pula melahirkan bermacam pengertian buas. Terdapat yang mengatakan kalau Rumi lagi menjajaki program retret digital di luar negara. Terdapat pula yang memperkirakan kalau Rumi tengah bentrok dengan keluarganya sebab perbandingan pemikiran. Apalagi filosofi konspirasi mengatakan beliau direncanakan jadi wajah politik belia yang tengah“ dijauhkan” dari keributan khalayak.
Seseorang pengamat adat pop, Reza Harisman, memperhitungkan kalau kejadian ini membuktikan alangkah warga Indonesia belum sedia dengan rancangan boundaries digital.
“ Kala seseorang figur khalayak menyudahi bungkam, khalayak langsung belingsatan. Seakan mereka berkuasa buat ketahui segalanya, sementara itu tiap orang memiliki hak buat menyudahi,” nyata Reza.
Beliau pula menegaskan kalau alat serta netizen sepatutnya menahan diri buat tidak melibatkan julukan anak di dasar baya ataupun anak muda dalam deskripsi yang belum pasti beralasan.
Sokongan dari Sesama Anak Selebritas
Menariknya, diamnya Rumi malah menimbulkan kebersamaan dari beberapa anak bintang film lain. Di Instagram Stories, Daffa Wardhana, putra Marini Zumarnis, menulis pendek:“ Kadangkala kita hanya pengin rehat. Tak wajib dipaparkan.” Sedemikian itu pula dengan Gita Savitri, yang walaupun saat ini lebih diketahui selaku edukator serta pengarang, mengatakan ketetapan Rumi selaku wujud kegagahan.
“ Berani bungkam di tengah desakan keberadaan itu tidak mudah. Angkat topi buat Rumi,” tulisnya.
Apakah Ini Hendak Jadi Gaya?
Kejadian bungkam selaku wujud komunikasi saat ini jadi gaya terkini di golongan anak muda digital. Mereka menyebutnya“ silent protest”, suatu aksi bungkam buat mempersoalkan desakan keberadaan, daya produksi tanpa henti, serta agresi pribadi yang terus menjadi gempar.
Sebagian arsitek konten apalagi unggah film kosong bertempo 1 menit selaku wujud kebersamaan buat Rumi. Dalam film itu cuma terdapat satu perkataan:“ Kita mencermati, walaupun kalian tidak ucapan.”
Di bagian lain, para konsumen alat sosial pula mulai menginisiasi kampanye#RespectTheSilence serta melantamkan supaya khalayak menyudahi menuntut keterangan dari seorang yang tengah berjuang dengan cara individu.
Penutup: Bungkam Dapat Jadi Suara Terbesar
Rumi tidak menanggapi. Tetapi dari diamnya, timbul gelombang empati, refleksi, apalagi kritik kepada adat digital yang sangat riuh. Beliau tidak butuh melafalkan sepatah tutur juga buat mengantarkan kalau suatu lagi tidak serius saja— ataupun bisa jadi, malah lagi lebih bagus dari lebih dahulu.
Kita tidak ketahui tentu apa yang terjalin. Tetapi bisa jadi, itu memanglah bukan hal kita. Sebab kadangkala, dalam bumi yang sangat berisik, bungkam merupakan salah satunya metode buat melindungi diri.
Serta bisa jadi, semacam tutur Jalaluddin Rumi, figur yang namanya beliau pakaian:“ Bungkam merupakan bahasa Tuhan, seluruh yang lain merupakan alih bahasa kurang baik.”