Rapuhnya Politik Kebijaksanaan Pembelajaran – Hari Pembelajaran Nasional jadi peluang memantulkan arah kebijaksanaan
Kebijakan pendidikan nasional mau tidak mau tak bisa dilepaskan dengan urusan politik. Politik sebagai kegiatan yang memiliki output keputusan memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Salah satunya ialah kebijakan penganggaran sektor pendidikan. Di sinilah ditentukan arah masa depan pendidikan rajaburma88, mulai dari visi pembangunan karakter murid, kesejahteraan guru, desain kurikulum, hingga kualitas sarana dan akses pendidikan. Pemilihan sosok menteri dan kebijakan yang dirancangnya juga menjadi bagian dari proses politik dengan dialektika pengawasan kinerja kementerian oleh DPR.
Secara mendasar, negara memberikan tugas bagi para penyelenggaranya bahwa mencerdaskan seluruh generasi merupakan janji konsitusional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Janji ini sekaligus mengikat bahwa pemerintah selayaknya memiliki program pendidikan yang berkesinambungan dan adil bagi semua warga negara.
Akan tetapi, publik melihat orientasi pendidikan nasional masih cenderung rapuh. Jajak Pendapat Litbang Kompas yang digelar pada 21—25 April 2025 merekam, publik menangkap inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan pendidikan. Tak kurang dari 62,7 persen responden mengamati bahwa setiap menteri pendidikan berganti, kebijakan pendidikan pun ikut berganti. Hanya sepertiga responden (29,5 persen) yang menilai kebijakan pendidikan tidak berganti setelah transisi pejabat.
Jika melihat di lapangan, kebijakan pendidikan yang terus berubah diwarnai kegaduhan administratif di sekolah. meliputi pelatihan guru yang tidak tepat sasaran, indikator penilaian di dalam ataupun di luar kelas yang berganti format, hingga munculnya program prioritas baru.
Agenda baru
Dengan alasan penyesuaian dengan kemajuan zaman, agenda baru selalu dibawa oleh pejabat baru. Dengan hitungan sederhana, wajib belajar di Indonesia ditetapkan selama 12 tahun. Periode tersebut akan diwarnai dengan transisi periode pemerintahan setiap lima tahun.
Artinya, satu angkatan belajar saja hampir pasti mengalami pergantian rezim pemerintahan sedikitnya dua kali. Belum lagi, apabila di tengah-tengah menjabat, menteri pendidikan diganti oleh presiden, maka pergantian semakin banyak terjadi.
Pemerintahan Prabowo-Gibran membuat gebrakan yang signifikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian ini dimekarkan menjadi tiga, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), serta Kementerian Kebudayaan. Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mempe
Terkait dengan perubahan yang kerap terjadi di dunia pendidikan, guru menjadi salah satu pihak yang harus dibuat lelah. Sejumlah guru, seperti yang diberitakan Kompas, saat mengalami pergantian menteri, berganti pula aturan mainnya.
Padahal, sebagian besar perubahan itu terjadi di ranah administratif, seperti perhitungan jam mengajar, borang laporan kerja, serta tuntutan kerja teknis lainnya yang malah sering membuat guru mengabaikan tugas utamanya Fenomena ini sekaligus melengkapi penilaian publik bahwa kebijakan pendidikan masih rapuh.
Masih lemahnya kebijakan pendidikan jangka panjang juga tampak dari penilaian publik terhadap mutu pendidikan di Indonesia. Hanya sekitar tiga dari sepuluh responden (34,8 persen) yang menilai mutu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia semakin baik. Di sisi lain, terdapat 8,4 persen responden yang menilai tetap buruk dan 15,2 persen lainnya menilai semakin buruk.
Masalah akses
Belum maksimalnya mutu pendidikan di Indonesia dipandang publik dipengaruhi sejumlah faktor. Sisi akses, yakni upaya pemerintah menyediakan sekolah, masih menjadi sorotan utama. Perhatian terutama tertuju pada wilayah-wilayah pelosok.
Baru sekitar 66,2 persen responden yang melihat ketersediaan sekolah di wilayah terpencil sudah sampai tingkat SMA. Di luar itu, masih ada sekitar 23 persen responden yang mengamati di wilayah pelosok ketersediaan sekolah baru sampai SD dan SMP.
Peliknya, terdapat 7,2 persen responden yang mengamati di wilayah terpencil di sekitarnya belum tersedia sekolah sama sekali. Dari angka ini saja terlihat adanya ketimpangan. Data Kementerian Pendidikan tahun 2024 pun memperlihatkan 60 persen jumlah SD dan SMP masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Lebih spesifik lagi, Jawa yang dimaksud adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sementara 40 persen sekolah tingkat dasar berada di luar Jawa yang wilayahnya lebih luas. Di titik ini, ketimpangan baru tampak dari sisi fisik. Problem lebih dalam hampir pasti akan tersentuh jika berbicara hal yang lebih mendasar seperti kualitas guru.
Di tengah masih problematiknya ketimpangan fasilitas pendidikan, publik pun tampak makin khawatir dengan mutu pendidikan ketika isu efisiensi berkembang. Meskipun alokasi proporsi anggaran pendidikan dari APBN tampak tidak berubah signifikan, secara besaran tetap ada pemangkasan.
Pemangkasan anggaran tidak luput diterapkan pada anggaran pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2025. Pagu awal anggaran Kemendikdasmen sebesar Rp 33,5 triliun dipangkas menjadi Rp 25,5 triliun. Artinya, ada penurunan anggaran setidaknya Rp 8 triliun.
Jumlah ini merupakan bagian dari efisiensi APBN sekitar Rp 306,7 triliun. Kendati demikian, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan program-program prioritas seperti bantuan operasional sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan tunjangan guru tidak akan terpengaruh.
Tidak mengherankan situasi ini memberikan rasa cemas kepada publik. Kembali pada hasil jajak pendapat, sebanyak 78 persen responden mengaku khawatir efisiensi APBN juga akan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, terdapat 21,6 persen responden yang merasa sangat khawatir.
Sekali lagi, berbicara tentang arah kebijakan pendidikan berarti membicarakan sisi politik pemerintah. Meski dengan eufemisme peningkatan mutu, kebijakan pendidikan tidak terlepas dari kepentingan politis.
Anggapan ini diamini oleh publik sebagai problem utama kebijakan pendidikan saat ini. Tiga dari sepuluh responden menilai masalah utama kebijakan pendidikan adalah terlalu dipengaruhi kepentingan politis.
Kembali pada fenomena kebijakan yang terus berganti, bagaimanapun langkah ini menjadi tekanan yang akan selalu dialami oleh menteri dalam kabinet yang baru. Ada kebutuhan untuk menelurkan inovasi demi upaya mempertahankan posisi politik.
Situasi inilah yang membuat arah kebijakan pendidikan jangka panjang sarat diwarnai perubahan teknis di dalamnya. Padahal, ketika perubahan itu terjadi terlalu sering, guru dan murid di kelas yang akan terkena imbasnya. Menjadi tidak mengherankan apabila 17,5 persen responden pun menilai terlalu banyak perubahan jangka pendek menjadi akar masalah kebijakan pendidikan.
Menarik pula untuk diamati, anggaran yang tidak tepat sasaran dinilai menjadi akar masalah pendidikan oleh 27,2 persen responden. Belum lagi, ada 10,3 persen responden yang menilai kepentingan bisnis ikut memengaruhi kebijakan pendidikan.
Dengan kata lain, anggaran yang tidak tepat sasaran terkait dengan tekanan dari pihak-pihak tertentu yang menuntut ikut terlibat dalam program-program inovasi pendidikan demi mendapatkan keuntungan materi.
Akhirnya, memperkuat arah politik pendidikan di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan di tengah dilema yang dialami, yakni belum terjaminnya pemerataan akses pendidikan di satu sisi, di sisi lain kepentingan politik menjadi tantangan. Kondisi ini sepatutnya menjadi bahan refleksi pemerintah. Bagaimanapun, kebijakan pendidikan bukan untuk satu periode pemerintahan, melainkan demi kesinambungan antargenerasi.
Politik Kebijaksanaan Pembelajaran: Antara Strategi, Kepentingan, dan Kualitas Pendidikan
Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban dan kemajuan bangsa. Dalam konteks ini, kebijakan pembelajaran memainkan peran vital dalam menentukan arah dan kualitas sistem pendidikan nasional. Namun, kebijakan pembelajaran tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil dari tarik ulur berbagai kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan ideologis yang terjadi di tengah masyarakat. Di sinilah muncul istilah “politik kebijaksanaan pembelajaran”, yang mengacu pada proses politis dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pendidikan.
Pengertian Politik Kebijaksanaan Pembelajaran
Politik kebijaksanaan pembelajaran dapat didefinisikan sebagai proses dinamis yang melibatkan aktor-aktor politik, pembuat kebijakan, akademisi, serta masyarakat dalam merancang dan menerapkan kebijakan yang mengatur proses pembelajaran. Ini mencakup aspek kurikulum, metode pengajaran, teknologi pendidikan, distribusi anggaran, serta sistem evaluasi pembelajaran.
Kebijakan pembelajaran bukan semata-mata persoalan teknis, tetapi juga sarat muatan ideologis dan politis. Misalnya, keputusan pemerintah dalam mengubah kurikulum nasional bukan hanya soal efektivitas pendidikan, melainkan juga terkait dengan agenda pembangunan nasional, nilai-nilai yang ingin ditanamkan, serta kepentingan politik jangka panjang.
Aktor dalam Politik Kebijaksanaan Pembelajaran
Ada berbagai aktor yang terlibat dalam proses politik kebijaksanaan pembelajaran, antara lain:
Pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki otoritas utama dalam menentukan arah kebijakan pendidikan. Kementerian Pendidikan dan instansi terkait berperan dalam merumuskan regulasi, menetapkan standar kurikulum, serta mengalokasikan anggaran.
Legislatif
DPR atau parlemen memiliki peran strategis dalam menyetujui anggaran pendidikan, mengawasi pelaksanaan kebijakan, serta memberikan legitimasi atas rancangan undang-undang di bidang pendidikan.
Partai Politik
Partai politik seringkali mempengaruhi arah kebijakan pendidikan melalui agenda politik mereka. Misalnya, partai dengan visi nasionalis akan cenderung mendorong kurikulum yang menekankan nilai-nilai kebangsaan.
Lembaga Pendidikan dan Akademisi
Universitas, LSM pendidikan, dan para akademisi memberikan masukan ilmiah serta kritik terhadap kebijakan pembelajaran yang sedang berjalan.
Masyarakat dan Orang Tua Murid
Mereka memiliki peran sebagai pengawas dan penerima langsung dampak dari kebijakan pembelajaran. Partisipasi mereka penting agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan riil.
Dinamika Politik dalam Kebijakan Pembelajaran
Dalam praktiknya, kebijakan pembelajaran sering kali berubah seiring bergantinya rezim pemerintahan. Kurikulum yang sebelumnya dianggap relevan bisa diganti total oleh pemerintah baru dengan dalih penyempurnaan atau penyesuaian terhadap kebutuhan zaman. Namun sering kali, pergantian kebijakan ini bukan semata karena pertimbangan pedagogis, tetapi karena adanya kepentingan politik yang ingin menciptakan legacy tertentu.
Contohnya di Indonesia, kita telah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, KBK (2004), KTSP (2006), Kurikulum 2013, hingga Merdeka Belajar. Masing-masing kurikulum ini membawa semangat dan pendekatan yang berbeda-beda. Meskipun perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, namun tidak jarang implementasinya menemui hambatan karena kurangnya kesiapan guru, fasilitas yang belum merata, serta inkonsistensi kebijakan.
Tantangan Politik Kebijaksanaan Pembelajaran
1. Inkoherensi Kebijakan
Kebijakan pembelajaran sering tidak konsisten antara tingkat pusat dan daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengatur sistem pendidikan lokal, namun koordinasi dengan pusat sering tidak sinkron.
2. Politik Anggaran
Pendidikan adalah sektor yang menghabiskan anggaran besar. Namun, distribusi anggaran sering kali tidak adil, dipengaruhi oleh lobi politik atau kepentingan kelompok tertentu, bukan berdasarkan kebutuhan obyektif.
3. Komersialisasi Pendidikan
Meningkatnya peran sektor swasta dalam pendidikan turut membawa kepentingan pasar ke dalam kebijakan pembelajaran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan bergesernya orientasi pendidikan dari membentuk karakter dan intelektualitas menjadi sekadar pencapaian target pasar.
4. Kurangnya Partisipasi Publik
Banyak kebijakan pembelajaran disusun tanpa melibatkan partisipasi luas dari masyarakat, guru, dan siswa. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan kurang tepat sasaran dan sulit diterapkan di lapangan.
Strategi Meningkatkan Kualitas Politik Kebijaksanaan Pembelajaran
Agar politik kebijaksanaan pembelajaran tidak semata menjadi arena perebutan kepentingan elit, diperlukan beberapa strategi berikut:
Transparansi dan Akuntabilitas
Proses perumusan kebijakan harus dilakukan secara terbuka, melibatkan berbagai pihak, dan disertai pertanggungjawaban yang jelas terhadap hasilnya.
Pendekatan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)
Kebijakan harus disusun berdasarkan riset ilmiah dan data empiris, bukan sekadar asumsi atau tekanan politik.
Penguatan Kapasitas Guru dan Sekolah
Perubahan kurikulum atau sistem pembelajaran harus diiringi dengan pelatihan dan dukungan sumber daya yang memadai bagi guru dan sekolah.
Partisipasi Publik
Melibatkan komunitas pendidikan dalam setiap tahap kebijakan dapat meningkatkan relevansi dan keberterimaan kebijakan di tingkat akar rumput.
Stabilitas dan Konsistensi Kebijakan
Meskipun dinamika politik tidak bisa dihindari, kebijakan pembelajaran harus memiliki jangka waktu yang cukup agar bisa diimplementasikan dengan baik sebelum dievaluasi dan diperbaiki.
Kesimpulan
Politik kebijaksanaan pembelajaran adalah keniscayaan dalam sistem pendidikan modern. Kebijakan pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang melingkupinya. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses politik ini berjalan secara demokratis, transparan, dan berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pembelajaran bukan hanya menjadi instrumen politik semata, tetapi juga menjadi alat perubahan sosial yang bermakna dan berkelanjutan.