Alexa slot Alexa99 alexa99 kiano88 kiano 88 alexa slot

Monita Tahalea, Bahasa Cinta

Monita Tahalea, Bahasa Cinta

Monita Tahalea, Bahasa Cinta- Album terbarunya, Merona yang luncurkan pada 30 Juni kemudian telah digodok Monita semenjak endemi.

5 tahun kemudian bumi menyudahi sejenak diterpa endemi virus Covid–19. Tetapi, gali77 bukan berarti biduan Monita Tahalea bungkam saja. Album terbarunya, Merona yang luncurkan pada 30 Juni kemudian telah digodok Monita semenjak endemi. Sepanjang 5 tahun ini pula, Monita memantulkan balik kehidupannya sampai dapat mendapati bahasa cinta buat albumnya.

” Merona” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia( KBBI) berarti menghasilkan warna, wajah merah sebab malu. Wajah yang merah ini sama dengan perasaan lagi jatuh cinta sebab jatuh cinta. Tetapi, Monita berasumsi lain. Untuknya, cinta bukan hanya mengenai corak merah di pipi yang buat batin berdebar- debar.

” Bahasa cinta itu terdapat banyak. Kita pikir cinta itu cuma kala kita merah merona, namun durasi kita lagi betul- betul berdarah serta enggak dapat memandang sinar di akhir jalur tuh sesungguhnya pula bagian dari kehidupan,” tuturnya di Jakarta, Kamis( 3 atau 7 atau 2025).

Album Merona melukiskan hidup selaku satu kesempurnaan kala orang hadapi senang serta gelisah. Cinta yang bukan cuma saja ke rival tipe, namun pula kepada diri sendiri serta bermacam ikatan. Ini terwakilkan melalui lagu yang bertajuk” Teman”.

” Jika cinta tuh bukan hanya yang happy- happy cuma. Tetapi bahasa cinta tuh terdapat banyak. Durasi kita terluka, memaafkan, melepaskan, serta membebaskan tuh bahasa cinta.”

” Kekalahan tuh bahasa cinta pula. Kala kita ingin menyambut kalau kita kandas, tetapi kita berupaya buat bangun lagi. Nyatanya itu bahasa cinta kala kita menghormati kehidupan ini,” imbuh Monita.

Lagu” Kehidupan” jadi penutup di album itu. Lagu ini terbuat selaku penyemangat kalau walaupun hidup lagi tidak serius saja, tidak terdapat yang percuma. Hadapi ekspedisi penuh lika- liku ialah bagian dari kehidupan itu sendiri.

” Hopefully yang mengikuti lagu ini dapat ngerasa, oh I’ meter not alone in this journey. Terdapat yang menemani serta you’ re not alone. Hening. Seperti hari depan tuh sedang terdapat untuk kita seluruh gitu.”

Monita merasa album Merona jadi indikator kemajuannya selaku seseorang biduan serta pengarang melirik. Beliau merasa lebih berani mengutarakan apa yang terdapat di pikirannya dengan lebih bijak.

Memo: Postingan ini disusun oleh partisipan program magang setiap hari Kompas, Giofanny Alamat, mahasiswa Bidang Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Banten.

Di tengah derasnya arus nada digital yang serba praktis serta viral, Monita Tahalea muncul selaku suatu oase. Biduan serta pengarang lagu berbicara empuk ini tidak cuma menyanyikan lagu, namun pula membordir rasa, membuat arti, serta mengatakan cinta dalam bahasa yang cuma dapat dipahami oleh batin yang terbuka. Musiknya merupakan bahasa cinta—halus, jujur, serta memegang.

Lahir dari kerangka balik nada jazz serta pop dengan gesekan folk, Monita Tahalea merupakan julukan yang saat ini terus menjadi diperhitungkan dalam lanskap nada Indonesia yang lalu berganti. Semenjak kemunculannya di pertandingan pencarian kemampuan pada 2005, Monita telah membuktikan aura berbeda—bukan biduan pertandingan lazim. 2 dasawarsa setelah itu, beliau sudah menguatkan dirinya selaku biduan dengan style khas yang sering mengangkat lirik- lirik puitis serta komposisi akrab.

Nada yang Jujur

Monita tidaklah musisi yang mengejar ketenaran semata. Beliau memilah buat menjaga musiknya semacam menjaga halaman individu. Dalam suatu tanya jawab, Monita sempat mengatakan,” Aku menulis lagu sebab aku butuh mengantarkan suatu. Bukan sebab aku mau lagu itu didengar paling- paling.”

Seperti itu penyebabnya musiknya terasa jujur. Album semacam” Songs of Praise” serta” Dari Balik Jendela” ialah refleksi dari ekspedisi kebatinan serta emosionalnya. Beliau lebih senang main dalam format kontemplatif dibanding kehebohan.

Lagu- lagu semacam” Mengawali Balik”,” Perahu Kertas”, sampai” Sedetik yang Kekal”, jadi fakta gimana Monita memakai nada selaku biasa buat mengantarkan cinta yang halus, tidak memimpin, tetapi memuat ruang- ruang yang tidak terkatakan.

Bahasa Cinta: Halus Tetapi Dalam

Ucapan mengenai cinta dalam lagu- lagu Monita tidak saja pertanyaan romansa. Malah yang membuat karya- karyanya kokoh merupakan sebab beliau sanggup meluaskan cakupan cinta itu sendiri—cinta pada keluarga, cinta pada hidup, cinta pada sarwa, apalagi cinta yang penuh cedera.

Dalam lagu” Kasih Putih”, misalnya, beliau menyanyikan:

” Kasih tidak bersyarat, bukan mengenai pantas ataupun tidak atau Beliau berikan tanpa menunggu menanggapi.”

Melirik itu memantulkan gimana Monita memandang cinta selaku suatu yang kebatinan, bukan transaksional. Beliau mengajak pendengarnya buat mengenang kalau cinta tidaklah suatu yang cuma terjalin di antara 2 orang, namun pula dalam ikatan antara orang dengan Tuhan, orang dengan diri sendiri, serta orang dengan alam.

Dibesarkan dalam Adat- istiadat Musik

Monita lahir di Jakarta, 21 Juli 1987, dari keluarga berdarah Ambon serta Batak. Darah nada mengalir kencang semenjak kecil. Beliau berkembang di tengah paduan suara gereja serta nada rumah yang dipadati suara soul serta gospel. Tidak bingung bila beliau setelah itu sedemikian itu lancar memainkan marah dalam vokalnya—tak butuh jerit, lumayan berbisik, serta pemirsa langsung terenyuh.

Sehabis tampak di Indonesian Idol masa kedua serta jadi salah satu finalis yang sangat diketahui, Monita tidak kontan mengutip rute pop mainstream. Beliau malah memilah rute bebas, meluncurkan album dengan kegiatan serupa musisi- musisi yang pula menggenggam idealisme besar, semacam Alat Lesmana serta Gerald Situmorang.

Kerja sama yang Bermakna

Selama kariernya, Monita sudah bekerja sama dengan banyak julukan besar dalam pabrik nada Indonesia. Beliau tidak enggan berpadu dengan jenis berlainan, dari jazz sampai nada etnik. Tetapi tiap kerja sama senantiasa beliau maknai selaku pertemuan hati, bukan semata- mata cetak biru menguntungkan.

Salah satu kerja sama yang mencuri atensi merupakan dikala beliau tampak di konser orkestra bersama Erwin Gutawa, mengantarkan” Bunga Mawar” serta” Lagu Cinta” yang membuat pemirsa berlinang air mata. Beliau pula luang tampak dalam tahap Tiny Desk Concert tipe Indonesia, membuktikan kalau ruang kecil juga dapat diisi dengan fibrasi cinta yang besar.

Ruang Sepi serta Wanita yang Berkisah

Tidak hanya selaku biduan, Monita pula aktif menulis. Beliau sering memberikan memo kecilnya di alat sosial, puisi- puisi pendek yang memegang serta penuh refleksi. Beliau siuman kalau jadi wanita dalam pabrik nada bukan masalah gampang, tetapi beliau memilah berbicara melalui metode yang sangat beliau kuasai: bercerita.

Monita pula diketahui selaku wujud yang suka mensupport aksi pemahaman psikologis serta kebatinan. Beliau sering tampak di forum akrab yang tidak cuma menyanyikan lagu, namun pula mengajak pemirsa buat bercokol, merenung, serta balik kerak dengan cedera hati.

Dari Pentas ke Hati

Performa pentas Monita bukan semacam konser pada biasanya. Beliau sering membiarkan sela waktu, membiarkan antap jadi bagian dari pementasan. Untuk Monita, kesunyian merupakan bagian dari bahasa cinta. Tidak butuh nada yang riuh buat mengantarkan catatan. Kerap kali, malah dari kesenyapanlah cinta sangat terdengar.

Konser” Bahasa Cinta” yang diselenggarakan dengan cara terbatas pada dini tahun 2025 jadi ilustrasi sempurna. Monita tidak tampak mewah, tetapi tiap lagu semacam berkah yang dipanjatkan dalam kerinduan. Pemirsa yang tiba tidak cuma melihat biduan, namun pula melihat seorang yang membuka isi hatinya tanpa malu.

Peninggalan Nada yang Mewarnai

Saat ini, sehabis nyaris 20 tahun berkreasi, Monita Tahalea sudah menggoreskan warna yang khas dalam denah nada Indonesia. Beliau merupakan ikon dari kegagahan buat loyal pada suara batin, walaupun arus pabrik nada mengatakan kebalikannya.

Monita sudah meyakinkan kalau cinta dapat diterjemahkan ke dalam banyak bentuk—bukan cuma rayuan romantik, namun pula dalam wujud dekapan suara, teguran melodi, serta kejujuran dalam masing- masing tutur.

Penutup

Di tengah bumi yang sering berisik oleh kepribadian abdi serta tekad, Monita Tahalea tiba bawa bahasa yang lain. Bahasa cinta yang tidak mengajari, tidak memerintah, tetapi mengajak kita pulang—pulang ke batin kita sendiri. Suatu bahasa yang tidak senantiasa wajib dipahami, namun lumayan dialami.

Serta dalam tiap bunyi yang beliau nyanyikan, kita ketahui, Monita tidak lagi mengantarkan melirik semata. Beliau lagi mengantarkan isi jiwanya. Suatu bahasa cinta yang hendak lalu hidup dalam sepi, dalam suara, dalam tiap kita yang ingin mencermati.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *