Beranggapan Arah Langkah Paus Leo XIV – Seperti tecermin dalam ceramah perdananya, Leo XIV hendak mendesak pertembungan
Habemus papam. Kita memiliki Paus yang baru. Kardinal Robert Francis Prevost dipilih oleh para kardinal peserta pemilihan Paus (konklaf) menjadi Paus ke-267 gali77 (8/5/2025). Ia memilih nama kepausan Paus Leo XIV.
Terpilihnya Paus yang baru menjadi penting bukan hanya bagi Gereja Katolik ritus Romawi saja. Sebagai pemimpin dari 1,4 miliar umat Katolik sedunia dan kepala negara Vatikan, Paus sangat berpengaruh bagi dunia. Seruan moral dan kemanusiaan Paus berdampak bagi banyak orang.
Lantas, apa kiranya arah langkah Paus Leo XIV bagi dunia dan Gereja Katolik? Untuk memahami hal ini, kita dapat menelisik dari sejumlah pintu masuk: asal negara dan sejarah karya, makna nama kepausan, dan pidato perdana beliau.
Paus Amerika Serikat pertama
Robert Francis Prevost menjadi Paus asal Amerika Serikat pertama yang terpilih. Ia menggantikan Paus Fransiskus yang berasal dari Amerika Selatan. Artinya, dua Paus terakhir berasal dari Benua Amerika.
Hal ini tidak mengherankan karena secara statistik, Benua Amerika mengukuhkan kedudukannya sebagai benua tempat 47,8 persen umat Katolik dunia bermukim. Dari jumlah tersebut, 27,4 persen tinggal di Amerika Selatan, 6,6 persen di Amerika Utara, dan 13,8 persen di Amerika Tengah (Pontifical Yearbook 2025).
Menariknya, Paus Leo XIV pernah bertugas cukup lama di Peru (1985-1986 dan 1988-1998). Ia terpilih sebagai Pemimpin Umum Ordo Santo Augustinus dari tahun 2001 hingga 2013. Ia lantas kembali ke Peru sebagai Uskup Chiclayo (2015-2023). Ia juga memiliki paspor Peru sejak 2015.
Sebagai seseorang dari Amerika Serikat (AS), tetapi bertugas lama di Amerika Selatan, Robert Prevost menjadi jembatan dialog antarkawasan. Ketika terpilih sebagai Paus, ia menjadi jembatan dialog antarbenua. Ia melanjutkan peran pendahulunya, Paus Fransiskus. Uniknya, nama resmi jabatan Paus adalah pontifex maximus. Artinya ’jembatan agung’.
Paus Leo XIV yang lahir di Chicago, 69 tahun lalu, ini juga menjadi penghubung Gereja Katolik dengan Amerika Serikat, negara dengan dinamika politik yang kompleks.
Ada saja orang yang menghubungkan terpilihnya Paus Leo XIV dengan sosok Trump yang baru saja mengunggah foto diri ala Paus di media sosialnya. Akan tetapi, kiranya tidak ada kaitan di antara dua peristiwa ini. Paus Fransiskus-lah yang pada 2023 ”berperan” dalam mempromosikan Robert Prevost sebagai Prefek Departemen Uskup, Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, dan kardinal.
Akar budaya, pengalaman luas, dan kemampuan intelektual Prevost menjadi bekal berharga untuk menjalankan peran kepemimpinan pada masa kiwari. Termasuk dalam menjalin kerja sama dengan para pemimpin negara adidaya. Kita menanti, seperti apa corak diplomasi Takhta Suci Vatikan di bawah seorang Paus dari AS yang lebih mengenal perpolitikan AS.
nama kepausan berperan simbolis dalam menentukan corak kepemimpinan seorang Paus. Robert Prevost memilih nama kepausan Leo XIV, melanjutkan Paus Leo XIII yang menjabat dari tahun 1878 hingga 1903. Paus Leo XIII gigih memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan kelas pekerja di tengah Revolusi Industri Kedua.
Dalam ensiklik ”Rerum Novarum” (1891), Paus Leo XIII mengkritik oknum kapitalis yang memeras orang miskin. Tulisannya menjadi awal mula perhatian para Paus berikutnya terhadap kaum miskin, imigran, serta pemusatan kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang. Kiranya Paus Leo XIV juga akan memperjuangkan keadilan sosial bagi dunia.
Dalam bahasa Latin, leo berarti singa. Di Indonesia, kita mengenal seorang tokoh bernama Leo, yakni Uskup Agung Jakarta, Leo Soekoto, SJ (1920-1995). Uskup Leo dikenal tegas, berwibawa, dan tanggap zaman. Kiranya demikian jugalah pilihan sikap Paus Leo XIV dalam menanggapi aneka persoalan dunia.
Apa yang membedakan Paus Leo XIV dari para pendahulunya? Robert Prevost sudah lama aktif di media sosial. Ia aktif sejak 2011 di Twitter atau X. Bahkan, ia tak segan mengkritik pendapat sejumlah politisi AS terkait isu imigrasi. Prevost mempertanyakan sikap penolakan beberapa politisi terhadap imigran.
Akan sangat menarik menanti, apakah sebagai Paus, Leo XIV akan juga bersikap cukup frontal? Waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas, Prevost selalu blak-blakan menyuarakan nuraninya, juga melalui media sosial.
Pidato perdana
Damai bagi kalian semua. Saya pun ingin agar ucapan damai ini masuk ke dalam hati kalian, sampai kepada keluarga-keluarga kalian, kepada semua orang, di mana pun mereka berada, kepada semua bangsa, kepada seluruh bumi.” Itulah kata-kata pertama Leo XIV sebagai Paus.
Leo XIV menekankan pentingnya meletakkan senjata demi mengupayakan perdamaian. Dalam bahasa Italia, ia berkata tentang una pace disarmata e disarmante (perdamaian tanpa senjata dan perdamaian tanpa ingin membalas dendam).
Ia melanjutkan dengan sebuah doa kepada Tuhan, ”Bantulah kami juga, lalu bantulah satu sama lain untuk membangun jembatan dengan dialog, dengan perjumpaan yang menyatukan kita semua menjadi satu umat yang selalu dalam damai.”
Leo XIV tak lupa berterima kasih kepada Paus Fransiskus. Ucapan terima kasih ini menandakan pula kesungguhan hatinya untuk meneruskan perjuangan Fransiskus dalam membangun jembatan bagi dunia yang berkonflik. Tak terkecuali dalam mengupayakan perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Leo XIV akan memperjuangkan amanat Paus Fransiskus bagi perdamaian dunia.
Dalam pesan Paskah pamungkasnya, Paus Fransiskus menyampaikan keprihatinan dan doanya untuk seluruh warga Palestina dan Israel. Beliau mendesak semua pihak yang berkonflik untuk menghentikan perang, membebaskan sandera, dan menolong mereka yang kelaparan (20/4/2025).
Benar bahwa Takhta Suci Vatikan pada masa sekarang tidak lagi dominan seperti pada masa lalu, ketika sejumlah besar pemimpin negara Barat adalah penganut Katolik. Akan tetapi, tak dapat kita sangkal bahwa Vatikan masih bertaji sebagai salah satu corong moral bagi politik dunia.
Pada 1963 Paus Yohanes XXIII berperan penting dalam meredam ”krisis misil Kuba” antara Uni Soviet dan AS. Kala itu Paus menekankan, para pemimpin negara bertanggung jawab atas nasib rakyatnya yang merindukan perdamaian.
Pada masa kiwari, Paus Leo XIV kiranya akan menyerukan pula hal senada bagi dunia yang terluka oleh aneka konflik dan peperangan. Seperti tecermin dalam pidato perdananya, Leo XIV akan mendorong perjumpaan langsung dengan sesama dari segala latar belakang. Siapa saja yang berkehendak baik kita jadikan sahabat dan saudara.
Ia kiranya mafhum, perjumpaan dengan liyan membongkar fanatisme dan fundamentalisme. Hal ini senada dengan pemikiran Gabriel Marcel (1889-1973). Menurut Marcel, berada berarti hidup berdampingan dengan liyan (to exist is to co-exist). Semoga damai beserta kita.
Hampir setahun setelah terpilih sebagai penerus Takhta Santo Petrus, Paus Leo XIV mulai menunjukkan arah kebijakan dan visi pastoralnya yang menandai perubahan halus tetapi signifikan dalam tubuh Gereja Katolik Roma. Dalam situasi global yang sarat tantangan moral, sosial, dan ekologi, banyak pihak mulai mencoba menduga kemana sang Paus baru ini akan mengarahkan perahu besar Gereja yang telah berlayar lebih dari dua milenium ini.
Paus Leo XIV, yang sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Matteo Zanchi dari Milan, terpilih dalam Konklaf April 2024. Usianya yang relatif muda—62 tahun saat terpilih—serta reputasinya sebagai teolog reformis namun setia pada ortodoksi gereja, menjadikannya sosok yang menjembatani spektrum konservatif dan progresif di dalam hierarki Gereja Katolik.
Sinyal Awal: Pastoral dan Keterbukaan
Dalam khotbah pertamanya sebagai Paus, Leo XIV menekankan pentingnya “kasih sebagai pusat setiap kebijakan gerejawi.” Ia mengajak umat Katolik untuk tidak hanya menjadi pengikut dogma, melainkan saksi belas kasih di dunia yang tercerai-berai oleh konflik dan ketidakadilan.
Dalam beberapa bulan pertamanya, Paus Leo XIV telah melakukan beberapa perjalanan apostolik yang menyiratkan prioritasnya. Kunjungannya ke Sudan Selatan, negara yang tengah pulih dari perang saudara, serta pertemuannya dengan para pengungsi di Pulau Lesbos, Yunani, mempertegas perhatiannya terhadap krisis kemanusiaan dan migrasi.
Tak hanya itu, Paus juga mengadakan pertemuan ekumenis dengan pemimpin Ortodoks Timur dan Islam moderat. Sikap ini menunjukkan kesinambungan dengan pendahulunya, Paus Fransiskus, namun dengan gaya yang lebih tenang dan reflektif.
Isu Sensitif: Perubahan atau Konsolidasi?
Namun yang paling ditunggu-tunggu adalah bagaimana Leo XIV akan bersikap terhadap isu-isu sensitif yang telah memecah belah opini umat dan klerus, seperti peran perempuan dalam Gereja, selibat imam, dan inklusi terhadap komunitas LGBTQ+.
Sejauh ini, Paus belum mengambil keputusan besar yang mengubah ajaran resmi Gereja, tetapi ia telah membuka ruang diskusi lebih luas. Dalam sinode regional di Amerika Latin awal tahun ini, ia menyetujui dialog terbuka soal tahbisan perempuan sebagai diakon, meski menegaskan bahwa hal ini “belum berarti perubahan doktrin.”
Pernyataannya mengenai komunitas LGBTQ+ juga menjadi sorotan. Dalam wawancara dengan media Katolik Jerman, Paus Leo XIV menyatakan bahwa “semua orang adalah anak-anak Allah, dan Gereja harus menjadi rumah yang menyambut, bukan menolak.” Walau pernyataan ini bukan hal baru sepenuhnya, namun dari seorang Paus baru, pernyataan ini menegaskan arah inklusivitas moral yang tetap dalam koridor teologi Katolik.
Tantangan Internal: Skandal dan Ketegangan Doktrinal
Leo XIV juga mewarisi persoalan berat dari pontifikat sebelumnya—terutama krisis kredibilitas Gereja akibat skandal pelecehan seksual oleh klerus. Dalam salah satu tindakan pertamanya, Paus menunjuk komisi independen internasional untuk menilai efektivitas kebijakan perlindungan anak di setiap keuskupan.
Selain itu, ia juga menghadapi ketegangan dengan kelompok konservatif tradisionalis yang kerap menolak reformasi liturgis dan sosial. Paus Leo XIV tampaknya berusaha membangun jembatan, bukan tembok. Ia memperbolehkan misa dalam ritus Latin tradisional di beberapa tempat, dengan pengawasan ketat, namun tetap mendukung penggunaan misa Novus Ordo sebagai bentuk liturgi utama.
Diplomasi Vatikan: Suara Moral Dunia
Dalam geopolitik global, Leo XIV menunjukkan kecerdasan diplomasi yang mulai menjadi ciri khasnya. Ia menyerukan gencatan senjata global selama konflik di Ukraina dan Timur Tengah, bahkan menawarkan Vatikan sebagai lokasi perundingan damai.
Paus juga kembali menegaskan posisi Vatikan soal perubahan iklim. Dalam ensiklik pertamanya yang berjudul “Custodes Terrae” (Penjaga Bumi), ia menulis: “Umat manusia tidak lagi dapat bersikap netral terhadap penderitaan bumi. Menjaga lingkungan bukan hanya tugas ekologis, tetapi juga tanggung jawab spiritual.”
Banyak pihak melihat ensiklik ini sebagai kelanjutan dari Laudato Si’ yang dirilis oleh Paus Fransiskus, namun dengan nuansa lebih mendalam pada aspek teologi penciptaan dan tanggung jawab antargenerasi.
Prediksi Arah Tahap Kepausan
Melihat jejak langkah awalnya, banyak pengamat memprediksi bahwa tahap kepausan Leo XIV akan berfokus pada tiga pilar utama: pembaruan moral pastoral, inklusivitas terbatas dalam ranah sosial, dan penguatan suara profetik Gereja di panggung internasional.
Ia bukanlah seorang revolusioner seperti Yohanes XXIII, tetapi juga bukan penjaga status quo yang pasif. Gaya komunikasinya yang elegan namun jelas, serta pendekatannya yang partisipatif dalam sinode dan konsultasi global, memberi sinyal bahwa Leo XIV akan menjadi Paus yang mendengarkan sebelum bertindak.
Pertanyaannya kini bukan hanya soal arah yang dipilih, melainkan seberapa jauh umat Katolik global dan Kuria Romawi bersedia bergerak bersama sang Paus menuju visi yang ia bawa.
Penutup
Tahap awal pontifikat Paus Leo XIV masih dalam proses pembentukan. Namun jika kita menilik dari kecenderungan kebijakan, gaya komunikasi, dan prioritas pastoralnya, tampak bahwa ia tengah memandu Gereja melewati masa transisi yang tidak mudahantara menjaga tradisi dan menjawab tantangan zaman.
Gereja Katolik Roma, dengan lebih dari 1,3 miliar umat di seluruh dunia, tentu tidak akan berubah secara drastis dalam semalam. Tetapi arah angin telah berubah, dan kapten barunya—dengan ketenangan, keterbukaan, dan komitmen pastoral—tampaknya telah mulai memutar kemudi.