Home » Mencetak Pendidik Mumpuni

Mencetak Pendidik Mumpuni

Mencetak Pendidik Mumpuni

Mencetak Pendidik Mumpuni – Merespons laporan ”Kompas” tentang dosen PTN tanggung jawab menciptakan sistem pendidikan berkualitas itu kewajiban pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Miris dan bersyukur. Dua kata ini terlontar dalam hati ketika selesai membaca tiga artikel Jurnalisme Data Harian Gaji Dosen Indonesia Kalah dari Negara Tetangga”, dan ”Bekerja Hampir 70 Jam Per Minggu, dahlia77 Dosen Tetap Masuk di Hari Libur” secara daring di Tokyo.

Merespons laporan Kompas tentang dosen perguruan tinggi negeri (PTN), pada hakikatnya tanggung jawab menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas kewajiban pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Miris karena mengetahui nasib seorang sejawat dosen muda PTN di Jawa Barat menjadi pengemudi ojek online (ojol) untuk menyambung hidup dan bersyukur atas nasib penulis sebagai dosen muda yang berkesempatan studi lanjut di luar negeri.

Setelah membaca ketiga artikel itu, sambil menyeruput kopi di kafetaria kampus Tokyo University of Agriculture, penulis teringat pada tajuk rencana Kompas tahun lalu (24/5) yang membahas mahalnya biaya kuliah di PTN. Seketika muncul dua pertanyaan melihat dua fenomena yang tidak masuk nalar ini.

Pertama, ke mana selisih kenaikan biaya kuliah mahasiswa PTN kalau masih dijumpai dosen PTN yang ngojol? Kedua, apa yang menyebabkan gaji dosen Indonesia rendah dibandingkan dengan negara tetangga padahal waktu bekerja sudah di atas rata-rata?

Jawaban dari kedua pertanyaan ini akan beragam mengingat status hukum PTN di Indonesia ada tiga, yaitu perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH), perguruan tinggi negeri badan layanan umum (PTN-BLU) dan perguruan tinggi satuan kerja (PTN-satker). Ketiga status ini menentukan tingkat otonomi, fleksibilitas keuangan, serta pola pengelolaan sumber daya di tiap-tiap PTN.

Namun, pastinya fenomena rendahnya gaji dosen dan kenaikan biaya kuliah mahasiswa PTN di Tanah Air menjadikan hambatan bagi pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang juga menjadi target SDGs ke-4.

Pendidikan berkualitas dapat terwujud apabila suatu negara memiliki pendidik mumpuni. Pendidik mumpuni adalah guru, dosen, atau tenaga pengajar yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif, membimbing peserta didik dengan baik, serta berperan aktif dalam pengembangan pendidikan secara profesional dan beretika.

Fondasi awal mencetak pendidik mumpuni adalah terjaminnya kesejahteraan. Kesejahteraan yang terjamin—baik secara ekonomi, kesehatan, maupun psikologis—memberikan rasa aman dan nyaman bagi pendidik. Pendidik dengan kesejahteraan yang terjamin cenderung lebih bersemangat mengajar dan membimbing peserta didik serta mengembangkan diri dan berinovasi.

Selain itu, pendidik yang sejahtera memiliki peluang lebih besar menghindari praktik-praktik tidak etis seperti mencari penghasilan tambahan yang mengganggu proses belajar-mengajar dibandingkan dengan pendidik yang tidak sejahtera.

Selain faktor kesejahteraan, dibutuhkan dukungan kebijakan pemerintah untuk mencetak pendidik mumpuni. Sebab, mencetak pendidik mumpuni di suatu negara tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi by design oleh rezim yang berkuasa.

Kenyataan masih adanya dosen ngojol membuktikan Pemerintah Indonesia belum mampu menciptakan kebijakan yang melahirkan pendidik mumpuni. Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan langkah untuk mereformasi kebijakan yang kini berlaku.

Ojek Online dan Kemitraan Semu, Regulasi yang Tertinggal Satu Dekade
Protokol Komunikasi Presidensial

Dalam mereformasinya, Pemerintah Indonesia dapat melihat dan mempelajari kebijakan pendidikan negara lain yang telah terbukti unggul sebelum mengadopsinya dalam konteks keindonesiaan. Salah satu negara dengan kebijakan pendidikan yang berhasil melahirkan pendidik mumpuni dan diakui dunia adalah Jepang.

Menurut pengamatan dan interaksi langsung penulis selama tinggal di Tokyo, terdapat empat kebijakan yang membuat Jepang berhasil melahirkan pendidik mumpuni, yaitu, pertama, penghargaan tinggi terhadap profesi pendidik. Guru dan dosen di Jepang memiliki status sosial tinggi.

Seleksi dan kualifikasi untuk menjadi pendidik sangat ketat sehingga hanya seseorang yang benar-benar kompeten dapat diangkat menjadi pendidik. Hal ini diikuti dengan hak jaminan kesejahteraan di atas rata-rata oleh Pemerintah Jepang.

Kedua, fokus pada pendidikan karakter dan moral. Pendidikan di Jepang menekankan pembentukan karakter dan moral seperti disiplin serta tanggung jawab peserta didik sejak dini, terutama pada tiga tahun pertama sekolah dasar. Nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, dan empati diajarkan sebelum pengetahuan akademis. Konsep seperti Omotenashi (ramah-tamah dan perhatian) dan Jiriki (kemandirian) menjadi bagian dari budaya pendidikan yang membentuk kepribadian calon pendidik sejak dini.

Ketiga, pendidikan gratis dan merata. Pendidikan dasar dan menengah di Jepang didanai negara sehingga akses pendidikan berkualitas terbuka bagi semua lapisan masyarakat, termasuk warga asing tanpa diskriminasi. Pemerintah juga menyediakan beasiswa bagi siswa berprestasi atau kurang mampu. Kedua hal ini memastikan kesempatan yang adil bagi calon pendidik dari berbagai latar belakang keluarga.

Keempat, pendanaan pelatihan dan pengembangan profesi. Pendidik di Jepang mendapatkan pelatihan berkelanjutan dan didorong untuk terus mengembangkan diri, baik secara akademik maupun karakter. Evaluasi dan pengembangan profesi dilakukan secara berkala untuk memastikan kualitas pengajaran tetap tinggi. Hal ini didukung oleh anggaran Pemerintah Jepang sehingga pendidik tidak perlu pusing memikirkan pendanaan pengembangan diri.

Keempat kebijakan ini dilakukan secara berkelanjutan, tidak berubah walaupun pemilihan umum di Jepang dilakukan setiap empat tahun sekali.

Tanggung jawab sebagai masyarakat

Tanggung jawab menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas di Indonesia hakikatnya merupakan kewajiban bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Namun, secara khusus, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengelolaan sistem pendidikan nasional menjadi tanggung jawab menteri yang membidangi pendidikan, yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah; Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; dan Menteri Kebudayaan.

Secara hierarkis, pemerintah pusat melalui tiga menteri bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan, pengelolaan, dan pengawasan pendidikan secara nasional. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki peran penting dalam mengelola pendidikan di wilayahnya, termasuk pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas pendidikan.

Selain itu, satuan pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya masing-masing sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Terakhir peran masyarakat, melalui partisipasi aktif dan pengawasan. Salah satu bentuknya adalah memberikan saran dan kritik konstruktif yang dapat dilakukan dengan menulis opini di media masa.

Sebagai bagian masyarakat sipil, penulis berharap saran penulis dalam tulisan ini dibaca dan bermanfaat bagi pengambil kebijakan sehingga ke depan Indonesia memiliki kebijakan yang menghasilkan pendidik mumpuni yang ujungnya dapat meratakan pendidikan berkualias dari Sabang sampai Marauke. Salah satu indikator keberhasilannya adalah tidak ada lagi dosen atau guru yang bekerja sambilan untuk menyambung hidup.

Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks dan dinamis, kualitas pendidikan di Indonesia menjadi sorotan utama. Salah satu aspek terpenting dalam sistem pendidikan adalah keberadaan pendidik yang mumpuni — guru-guru yang tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi juga mampu menginspirasi, membimbing, dan membentuk karakter generasi penerus bangsa. Sayangnya, mencetak pendidik yang ideal bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan kebijakan, pelatihan, dan sistem pendukung yang terintegrasi untuk mencapainya.

Tantangan di Lapangan

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Indonesia memiliki lebih dari 3 juta guru yang tersebar di berbagai jenjang pendidikan. Namun, distribusi dan kualitas mereka masih menjadi persoalan. Di daerah terpencil, masih banyak sekolah yang kekurangan guru dengan kompetensi memadai. Sementara di kota besar, tekanan administratif dan kurikulum sering membebani guru sehingga sulit berinovasi dalam mengajar.

Menurut Dr. Ratna Widyasari, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, masalah utama yang dihadapi guru adalah kesenjangan antara teori pendidikan yang mereka peroleh di kampus dengan realita di lapangan.

“Banyak lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang belum siap secara praktis untuk mengajar di kelas dengan beragam karakter siswa,” ujar Dr. Ratna. “Mereka butuh pengalaman langsung dan pembinaan berkelanjutan.”

Reformasi LPTK: Kunci Pembentukan Guru Unggul

Dalam upaya meningkatkan kualitas guru sejak awal, reformasi terhadap LPTK menjadi sangat krusial. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) telah mengusung berbagai program perbaikan kurikulum dan sistem rekrutmen mahasiswa calon guru.

Salah satu langkah signifikan adalah pelaksanaan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di lingkungan LPTK, yang memberi ruang bagi calon guru untuk mengajar di sekolah-sekolah selama satu semester sebagai bagian dari praktik lapangan. Program ini memungkinkan mahasiswa mengenali tantangan riil pengajaran sejak dini.

“Melalui MBKM, mahasiswa bisa merasakan atmosfer sekolah, menghadapi tantangan mengelola kelas, dan merancang pembelajaran kreatif,” ungkap Direktur Pendidikan Profesi Guru, Dr. Hadi Pranoto. “Ini adalah bagian dari komitmen pemerintah untuk mencetak guru yang siap kerja dan berdaya saing.”

Peran Teknologi dalam Pendidikan Guru

Perkembangan teknologi turut menjadi katalis dalam mencetak guru mumpuni. Pelatihan daring, platform berbagi praktik baik, dan sistem evaluasi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan profesional guru.

Platform seperti Guru Belajar dan Berbagi yang diluncurkan Kemendikbudristek sejak 2020 terus dikembangkan untuk menyediakan modul pelatihan, forum diskusi, hingga sertifikasi daring. Ribuan guru dari Sabang sampai Merauke telah mengikuti pelatihan daring ini, terutama selama masa pandemi COVID-19.

“Dengan teknologi, pelatihan tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Guru bisa belajar mandiri kapan saja, di mana saja,” kata Dian Paramita, Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.

Namun, pemanfaatan teknologi juga membawa tantangan tersendiri. Di banyak daerah, infrastruktur jaringan internet dan perangkat masih menjadi kendala. Belum lagi keterampilan digital guru yang belum merata.

Sertifikasi dan Kesejahteraan: Dua Sisi Mata Uang

Upaya peningkatan mutu guru tidak terlepas dari sistem sertifikasi dan insentif. Program sertifikasi guru yang dimulai sejak tahun 2005 bertujuan meningkatkan kompetensi dan profesionalitas guru. Guru yang lulus sertifikasi berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Namun, masih ada keluhan soal proses sertifikasi yang dianggap terlalu administratif dan kurang berorientasi pada peningkatan kualitas mengajar. Pemerintah menyadari hal ini dan kini tengah menyempurnakan skema baru berbasis kinerja.

“Ke depan, insentif guru akan lebih berbasis pada capaian pembelajaran siswa, bukan sekadar kelengkapan dokumen,” jelas Dirjen GTK, Nunuk Suryani.

Di sisi lain, kesejahteraan guru, terutama guru honorer, masih menjadi persoalan klasik. Banyak guru non-ASN menerima upah jauh di bawah UMR. Untuk itu, pemerintah mendorong percepatan rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) agar guru honorer mendapatkan status dan hak yang layak.

Mencetak Guru Pemimpin

Mencetak pendidik mumpuni juga berarti membentuk guru yang mampu menjadi pemimpin pembelajaran (instructional leader). Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga pembentuk karakter dan inspirator. Untuk itu, pelatihan kepemimpinan bagi guru dan kepala sekolah juga diperkuat.

Program Guru Penggerak, misalnya, bertujuan menghasilkan guru yang berorientasi pada murid, mampu menggerakkan komunitas belajar, serta melakukan inovasi dalam pembelajaran. Sejak diluncurkan pada 2020, lebih dari 80.000 guru telah mengikuti program ini.

Salah satunya adalah Nining Sulastri, guru SD di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Setelah mengikuti pelatihan Guru Penggerak, Nining menggagas pojok literasi di sekolahnya dan melibatkan orang tua siswa dalam kegiatan membaca bersama.

“Saya jadi lebih percaya diri untuk melakukan perubahan, meski di sekolah kecil di desa,” ungkap Nining. “Anak-anak kini lebih semangat membaca dan belajar.”

Kesimpulan: Kolaborasi untuk Masa Depan

Mencetak pendidik mumpuni bukanlah tugas satu pihak. Ia memerlukan kerja sama lintas sektor — dari pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, hingga sektor swasta. Dibutuhkan sistem yang mendukung guru dalam setiap tahapan kariernya: dari saat mereka belajar menjadi guru, mulai mengajar, hingga terus berkembang profesional.

Investasi pada guru adalah investasi jangka panjang. Negara-negara dengan sistem pendidikan unggul seperti Finlandia, Jepang, dan Singapura menempatkan guru sebagai profesi terhormat dengan pelatihan intensif dan dukungan berkelanjutan. Indonesia pun bisa mencapai itu, jika komitmen bersama terus dijaga.

Sebagaimana kata bijak: “Guru adalah pelita, penerang dalam gulita.” Maka sudah sepatutnya kita menerangi jalan para guru agar mereka bisa menerangi masa depan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *