kiano88 impian789 alexa99 los303 dahlia77
rajaburma88
los303
alexa99
sisil4d
slot gacor slot gacor terbaru slot gacor 2025 alexa slot alexa99
Home » Historiografi Indonesia

Historiografi Indonesia

Historiografi Indonesia

Historiografi Indonesia – Generasi muda Tionghoa sudah keluar dari dikotomi lama yang membagi mereka menjadi totok dan peranakan.

Hanya ada satu nama dari etnis Tionghoa yang menjadi Pahlawan Nasional dalam sejarah bangsa Indonesia. Dia adalah Laksamana Muda John Lie (1911-1988). Itu pun baru terjadi pada 10 November 2009. Bahkan, ada empat nama dari golongan Tionghoa yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang masih sering hilang dalam historiografi Indonesia. Mereka adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. alexa99Dua isu ini di antaranya yang digarisbawahi dalam diskusi dan peluncuran buku Mengembalikan Tionghoa ke Dalam Historiografi Indonesia dan sekaligus merayakan 70 tahun Asvi Warman Adam dan purnabaktinya sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, 7 November 2024 lalu.

Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang di Indonesia dan menjadi bagian integral dari masyarakat negeri ini. Salah satu narasi sejarah tentang kedatangan dan penyebaran Islam di Tanah Air bahkan sering dikaitkan dengan Tionghoa, khususnya pada masa Wali Songo dan Laksamana Cheng Ho (1371-1433). Namun, orang Tionghoa sering terpinggirkan. Memang, pembukaan demokrasi setelah Reformasi 1998 telah memberikan kesempatan yang baik untuk menjadikan Indonesia lebih inklusif dan pluralis dengan mengintegrasikan dan mengakomodasi berbagai kelompok etnis dan agama, yang sebelumnya terpinggirkan, menjadi kesatuan yang kuat. Meskipun sebagian besar dilaksanakan, orang Tionghoa terkadang masih diabaikan dan historiografi nasional belum sepenuhnya direvisi.

Faktor sejarah juga berpengaruh pada identitas Tionghoa, terutama ketika mereka diasosiasikan dengan komunisme setelah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965.

Banyak faktor yang memengaruhi kondisi Tionghoa di Indonesia. Tidak hanya isu dalam negeri, tetapi dinamika global juga berpengaruh pada kondisi dan kadang sentimen atau anti-Tionghoa. Dalam buku Identitas Etnik Tionghoa di Tengah Arus Demokratisasi dan Globalisasi (2023), misalnya, disebutkan bahwa salah satu isu yang sering dikaitkan dengan sebagaian etnis Tionghoa adalah kesetiaan nasional. Sebagian dari mereka kadang dianggap memiliki kesetiaan yang terbelah (divided national loyalty) antara negara asalnya dan Indonesia. Isu ini semakin sering diembuskan, terutama dengan semakin meningkatnya pengaruh global Tiongkok. Fenomena ’resinifikasi’ dan Mandarin fever, misalnya, ikut mengonstruksi pandangan masyarakat tentang etnik Tionghoa Indonesia di era global saat ini.

Secara umum, buku di atas meringkaskan empat faktor yang memengaruhi dinamika identitas dan kondisi etnik Tionghoa Indonesia saat ini, yaitu: Faktor sejarah yang rumit, faktor agama yang dianut, faktor pembauran yang dialami, dan faktor hadirnya generasi muda Tionghoa yang ”native digital”. Terkait dunia digital, generasi muda Tionghoa sudah keluar dari dikotomi lama yang membagi mereka menjadi totok dan peranakan. Mereka lebih suka mendefinisikan identitas dan nasionalismenya dengan menggunakan istilah ”Chindo yang mereka anggap sebagai istilah yang lebih netral dan bersifat hibrida”

Faktor sejarah juga berpengaruh pada identitas Tionghoa, terutama ketika mereka diasosiasikan dengan komunisme setelah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Berbagai peristiwa konflik sosial yang melibatkan etnis Tionghoa memang pernah terjadi di Indonesia. Mereka menjadi korban pembantaian di Batavia tahun 1740, pembunuhan di Mandor, Kalimantan Barat, tahun 1943, pembunuhan massal di Tangerang tahun 1946, dan pembunuhan massal di Kalimantan Barat tahun 1967. Namun, peristiwa 1965 memiliki dampak yang sangat besar terhadap nasib dan identitas Tionghoa Indonesia. Ini di antaranya yang berpengaruh pada penghilangan etnis Tionghoa dari historiografi Indonesia, membentuk citra negatif bagi etnis Tionghoa, dan lahirnya berbagai kebijakan diskriminatif, seperti pelarangan sekolah berbahasa Mandarin, Konghucu tak lagi diakui, dan pelarangan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa.

Dalam artikelnya yang berjudul ”Membuat ’Buah Simalakama’ Aman dan Nikmat Disantap: Etnik Tionghoa, Peran Kebangsaan, dan Tantangannya” di buku Dilema Minoritas di Indonesia: Ragam, Dinamika, dan Kontroversi (2020), dengan mengutip Charles Coppel, Didi Kwartanada menggambarkan posisi ”serba salah” golongan Tionghoa, terutama sebelum Reformasi 1998.

Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka

Selain etnis Tionghoa dan dalam konteks yang berbeda, historiografi nasional juga perlu dievaluasi terkait etnis Papua. Tidak sepenuhnya paralel, tetapi identitas dan kondisi golongan Papua ini juga kerap menghadapi persoalan. Dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2009) disebutkan bahwa sumber konflik Papua itu mencakup empat isu strategis, yaitu sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marjinalisasi orang Papua.

Hal yang hendak digarisbawahi di sini, dalam hal Tionghoa dan Papua, historiografi menjadi sesuatu yang tak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan upaya menguatkan dan mempercepat proses asimilasi dan integrasi. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1964 yang berjudul ”Vivere Pericoloso”, Presiden Soekarno di antaranya menegaskan:

Seperti saudara-saudara sekalian tahu, yang selalu saya impi-impikan adalah kerukunan Pancasilais-Manipolis dari segala suku bangsa, segala agama, segala aliran politik, segala kepercayaan. Kerukunan dari segala suku, artinya termasuk suku-suku peranakan atau keturunan asing, –Arab-kah dia, Eropah-kah dia, Tionghoa-kah dia, India-kah dia, Pakistan-kah dia, Yahudi-kah dia. Untuk mencapai ini, saya menganjurkan integrasi maupun asimilasi kedua-duanya. Juga dalam hal ini kita tak bisa sekadar memenuhi keinginan-keinginan subyektif kita. Kita harus tahu hukum-hukumnya! Tak bisa misalnya kita – jangankan 1-2 generasi, 10 generasi pun tak bisa meniadakan ’rahang Batak’, atau ’sipit Tionghoa’, atau ’mancung Arab’, atau ’lidah Bali’, atau ’kuning langsat Manado’, atau ’ikal Irian’, dan sebagainya. Memang bukan ini yang menjadi soal! Yang menjadi soal ialah: bagaimana membina kerukunan, membina persatuan, membina bangsa, di antara semuanya, dan dari semuanya.

Untuk memperkuat integrasi dan asimilasi dalam konteks etnis Tionghoa, mengembalikan mereka ke dalam historiografi Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting.

Di antara yang perlu ditekankan dari pernyataan Soekarno tersebut adalah bahwa dalam membangun identitas nasional dan memperkuat nation building, maka berbagai perbedaan fisik itu tak boleh menjadi penghalang. Justru itu semua adalah potensi kekuatan dan keindahan bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Untuk memperkuat integrasi dan asimilasi dalam konteks etnis Tionghoa, mengembalikan mereka ke dalam historiografi Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting.

Secara akademik, Tiongkok sendiri secara gencar melakukan kajian tentang Indonesia, di antaranya tentang historiografi terkait Tionghoa dan hubungan Tiongkok-Indonesia. Setiap tahun mereka mengadakan acara besar untuk meneliti dan memperkuat hubungan dengan Indonesia yang diberi nama ”China-Indonesia People-to-People Exchanges Development”. Pada November 2023 lalu dilaksanakan di Wuhan dan untuk November 2024 ini dilangsungkan di Fuqing, Provinsi Fujian, yang merupakan asal dari 46 persen etnik Tionghoa Indonesia. China Academy of Social Sciences (CASS) juga membangun Pusat Studi China di Indonesia mulai 2025.

Sejarah bukan sekadar kumpulan peristiwa masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh siapa yang menulis, untuk siapa ditulis, dan dengan tujuan apa. Di Indonesia, dinamika historiografi—cara penulisan dan penafsiran sejarah—mengalami perkembangan yang kompleks dan penuh dinamika, mencerminkan perubahan sosial, politik, dan intelektual bangsa dari zaman kolonial hingga era reformasi.

Historiografi Kolonial: Sejarah dari Perspektif Penjajah

Historiografi Indonesia awalnya didominasi oleh pandangan kolonial Belanda. Dalam narasi yang dibangun oleh sejarawan kolonial seperti H.J. de Graaf dan C.C. Berg, sejarah Indonesia kerap digambarkan sebagai cerita tentang masyarakat “primitif” yang kemudian mengalami kemajuan melalui campur tangan bangsa Eropa. Penekanan utama dalam historiografi kolonial adalah legitimasi kekuasaan Belanda di Nusantara, dengan menempatkan bangsa pribumi sebagai objek pasif dalam sejarah.

Penulisan sejarah pada masa ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik penjajah. Dokumentasi sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Mataram, Majapahit, dan Sriwijaya ditafsirkan dari sudut pandang orientalis yang sering kali mengabaikan sumber lokal atau menafsirkannya secara sepihak.

Historiografi Nasionalis: Bangkitnya Sejarah dari Kacamata Pribumi

Seiring kebangkitan nasionalisme pada awal abad ke-20, muncul upaya merekonstruksi sejarah Indonesia dari perspektif bangsa sendiri. Para pemikir seperti Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, dan T.B. Simatupang mulai menyusun narasi sejarah yang menekankan perjuangan dan kebesaran bangsa Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme.

Historiografi nasionalis memuncak setelah kemerdekaan pada 1945. Negara yang baru merdeka membutuhkan legitimasi historis yang kuat, sehingga penulisan sejarah diarahkan untuk membangun identitas nasional dan semangat patriotisme. Buku-buku sejarah pada masa ini menggambarkan Indonesia sebagai satu kesatuan yang telah ada sejak zaman kuno, dengan tokoh-tokoh seperti Gajah Mada dan Diponegoro dijadikan simbol perjuangan.

Meski berhasil membangun rasa kebangsaan, historiografi nasionalis juga menuai kritik karena kerap bersifat selektif dan idealistis. Banyak peristiwa sejarah yang disederhanakan atau bahkan dihapuskan demi membentuk narasi tunggal tentang kejayaan bangsa.

Historiografi Orde Baru: Sejarah sebagai Alat Kekuasaan

Memasuki era Orde Baru (1966–1998), historiografi Indonesia mengalami pelurusan oleh negara. Pemerintah di bawah Presiden Soeharto menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaan. Peristiwa penting seperti G30S/PKI ditafsirkan secara tunggal melalui versi resmi pemerintah, yang kemudian diwajibkan dalam kurikulum pendidikan nasional.

Pusat Sejarah ABRI dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi institusi kunci dalam membentuk narasi sejarah resmi. Buku pelajaran sejarah disesuaikan dengan kepentingan politik, termasuk penghapusan atau penyesuaian terhadap peran tokoh-tokoh tertentu, terutama yang dianggap berseberangan dengan rezim.

Historiografi pada masa ini bersifat sangat sentralistik dan dogmatis, dengan ruang kritis yang sempit. Sejarah lokal dan alternatif nyaris tidak mendapat tempat, dan masyarakat hanya mengenal satu versi sejarah: versi negara.

Era Reformasi: Kelahiran Kembali Sejarah Alternatif

Reformasi 1998 membuka babak baru dalam historiografi Indonesia. Kebebasan berekspresi dan runtuhnya sensor negara memungkinkan munculnya beragam tafsir dan penulisan sejarah dari sudut pandang yang lebih luas. Para sejarawan muda, aktivis, dan penulis independen mulai menggali sejarah-sejarah yang sebelumnya diabaikan atau disembunyikan.

Isu-isu seperti kekerasan 1965, kerusuhan Mei 1998, konflik di Aceh dan Papua, serta sejarah perempuan dan kelompok minoritas mulai ditulis dan dipublikasikan secara terbuka. Sejarawan seperti Asvi Warman Adam, Hilmar Farid, dan Bonnie Triyana menjadi tokoh penting dalam gerakan historiografi alternatif ini.

Penulisan sejarah lokal (lokalitas), sejarah lisan, serta penggunaan sumber-sumber alternatif seperti arsip pribadi, koran lama, dan narasi rakyat memperkaya pemahaman kita terhadap masa lalu. Dalam era ini, sejarah bukan lagi milik negara atau sejarawan elite, melainkan ruang dialog yang terbuka bagi berbagai kelompok masyarakat.

Tantangan dan Harapan di Masa Kini

Meski telah terjadi demokratisasi dalam penulisan sejarah, tantangan besar masih menghadang. Salah satunya adalah kurangnya minat baca sejarah di kalangan generasi muda. Di era digital ini, narasi sejarah seringkali dikalahkan oleh informasi singkat dan viral di media sosial.

Selain itu, politisasi sejarah masih terjadi. Narasi sejarah sering dimanipulasi untuk kepentingan politik jangka pendek, seperti dalam kampanye pemilu atau konflik ideologis. Hoaks dan disinformasi sejarah juga mudah menyebar di dunia maya, menciptakan kebingungan publik akan kebenaran historis.

Namun demikian, harapan tetap ada. Keterlibatan generasi muda dalam proyek sejarah digital, film dokumenter, pameran sejarah, dan pelestarian arsip menjadi angin segar bagi masa depan historiografi Indonesia. Program-program sejarah publik seperti Indonesia Mengingat, Historia, dan festival-festival sejarah lokal di berbagai kota memperlihatkan bahwa sejarah tetap relevan dan hidup di tengah masyarakat.

Kesimpulan: Historiografi sebagai Cermin Bangsa

Historiografi Indonesia mencerminkan perjalanan bangsa dalam memahami identitas dan perjuangannya. Dari penulisan sejarah yang kolonialistik, nasionalistik, hingga kritis dan multivokal, kita belajar bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang statis. Ia berkembang seiring perubahan zaman dan kesadaran kolektif masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *