Antiteknokratisme Dan Efek Matinya Kepakaran – Di Indonesia, dialog hal teknokratisme sering membawa ingatan ke era Sistem Terkini
Dalam opininya di Setiap hari Kompas, 22 April 2025, dosen STF Driyarkara, Yanuar Nugroho, mengangkut poin yang pantas kita pikirkan rajaburma88, ialah mengenai matinya teknokratisme di masa rezim Kepala negara Prabowo Subianto.
Mengutip intro beberapa kebijaksanaan yang ditaksir tidak menciptakan pemecahan efisien dalam mengatasi kasus ekonomi serta hukum, sedangkan titik berat geoekonomi( cum geopolitik) eksternal kian padat. Termutakhir, dengan aplikasi kebijaksanaan bayaran Kepala negara Amerika Sindikat Donald Trump.
Perihal ini sedang ditambah dengan bobot konkretisasi akad kampanye atau politik Kepala negara Prabowo, semacam program Makan Bergizi Free( MBG) serta penyediaan 3 juta rumah free buat orang miskin.
Yanuar menengarai jawaban penguasa tidak memenuhi. Aturan mengurus pembangunan tidak terkoordinasi, serta tidak terdapat kontrol pada pemograman serta eksekusi alhasil timbul opini rezim yang terkini dewasa 6 bulan ini” layuh” dalam mengalami suasana.
Apa penyebabnya? Bagi Yanuar, ini sebab andil teknokrat menurun. Sosok- sosok yang menjaga pemograman serta eksekusi yang terdapat pada 2 rezim saat sebelum Kepala negara Prabowo, saat ini tidak lagi memainkan andil. Banyak posisi penting diisi oleh para politisi partai dari teknokrat handal.
Bagi observasi Yanuar, dengan bentuk rezim yang berjalan saat ini ini; koordinasi rute institusi, pengumpulan ketetapan berplatform informasi, serta akuntabilitas sistemik jadi bolos.
Program MBG, misalnya, walaupun bermaksud agung, dengan cara pajak nampak tidak realistik. Karena, digulirkan tanpa riset kelayakan mendalam, sekali lagi sebab lemahnya formulasi kebijaksanaan berplatform pemograman teknokratis.
Kebingungan Yanuar mengenai pudarnya teknokratisme pada satu bagian bisa kita maklumi.
Tetapi, terdapat bagusnya pula kita menyimak lebih teliti kekurangan teknokratisme dalam aplikasi. Lebih dahulu kita cermati dahulu apa persisnya penafsiran teknokratisme, ataupun teknokrasi.
Pemikiran AI mengatakan kalau teknokratisme merupakan satu sistem rezim ataupun pandangan hidup yang memprioritaskan kemampuan serta kecakapan teknis orang, spesialnya dalam rekayasa ataupun ilmu, melampaui tata cara demokratik ataupun politik konvensional.
Bagi mengerti ini, pembuatan kebijaksanaan wajib dibimbing oleh informasi, fakta objektif, serta analisa obyektif dari pandangan perorangan( Kepala negara sekalipun) ataupun skedul politik.
Semacam pula dijamah oleh Yanuar, teknokratisme—dalam bentuknya yang sangat murni—menyarankan kalau warga wajib dipandu oleh mereka yang sangat berpendidikan serta berkecakapan, seragam dengan ilham filsuf- raja yang dikemukakan oleh Plato dalam Republic. Ini mengisyaratkan keniscayaan kemampuan serta kerasionalan, dan pemecahan teknis, buat dilema warga.
Bila ditelusuri lebih jauh, rancangan teknokratisme bersumber pada filosofi Max Weber yang menekankan berartinya birokrasi serta kemampuan dalam aturan rezim modern.
Tetapi, dengan seluruh penyembahan kepada kerasionalan serta kemampuan, mengerti teknokratisme kerap ditatap mempunyai kecondongan tidak demokratis serta dapat jadi senantiasa belum lumayan mencukupi buat menampung keinginan serta preferensi khalayak.
Yang tidak takluk berarti, teknokrat acap diamati kerap dipersepsikan berasumsi sektoral, memprioritaskan aspek mereka di atas kondisi sosial yang lebih besar. Perihal ini tidak tidak sering menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki.
Di Indonesia, pembicaraan mengenai teknokratisme kerap bawa ingatan ke masa Sistem Terkini, dikala 2 ajaran teknokratisme berbenturan, serta dua- duanya tersungkur.
Satu perihal yang susah disangkal kalau pada durasi itu terdapat teknokrat ahli( semacam Profesor Widjojo Nitisastro) yang sukses memantapkan perekonomian negeri dari porak- poranda dikala darurat di catok awal tahun 1960- an. Profesor BJ Habibie berikan pengganti pada ajaran teknokrat Berkeley, ialah dengan menawarkan ekonomi berplatform teknologi.
Semacam kita lihat, bagus ajaran Berkeley ataupun ajaran Aachen layuh ketika daulat” the power that be” lebih yakin pada ekonomi bangsa.
Dikala itu, teknokrat populis kandas memandang pergantian era alhasil tidak hanya perkembangan tidak dapat bawa negeri ke tingkat hebat melampaui the so- called
Macan Asia”, ataupun” Dragon Kecil Asia”, teknokrat teknologi pula kandas menciptakan janjinya, kalau teknologi hendak dapat mengerek ekonomi ke kesuksesan.
Keduanya tidak berakal kala darurat finansial atau ekonomi atau sosial atau politik menghantam Republik di tahun 1997.
Matinya kepakaran
Memo di atas menampilkan kalau teknokratisme bukan salah satunya jalur ke arah berhasil rezim serta pembangunan.
Tetapi, di luar kritik yang terdapat kepada teknokratisme, pengarang sedang bisa memajukan alasan lain buat menggarisbawahi berartinya antusias serta kebajikan( virtue) yang terdapat pada pandangan hidup ini.
Salah satu pertanyaan yang jadi kegelisahan merupakan kalau kala problema rezim terus menjadi kompleks serta menginginkan pandangan besar mengenang terus menjadi peliknya tali- temali geopolitik serta geoekonomi, kita tidak mempunyai kapasitas mencukupi buat mengatasi.
Berita- berita di laman 1 setiap hari ini, dengan kepala karangan” Was- was Memburuknya Penanda Perekonomian”( Kompas, 14 atau 3 atau 2025) serta” Energi Kuat Eksternal RI Lalu Melemah”( Kompas, 24 atau 4 atau 2025), mengisyaratkan perihal itu.
Sebaiknya, di tengah suasana yang terdapat, kemudian tampak daulat birokrasi yang berpengalaman, ahli. Tetapi, karena—seperti tutur Yanuar teknokrat telah terpinggirkan, jawaban ampuh juga tidak menyambangi timbul.
Memanglah, dapat saja perihal ini terjalin sebab perkaranya luar lazim berat, namun dapat pula sebab kita memanglah tidak menyiapkan diri buat mengalami kegawatan.
Kala politik ultra- populisme serta menanggapi budi atau transaksional menaklukkan kemampuan, resiko besar mengadang.
Celakanya, gaya ini searah dengan kecondongan yang terdapat di luar, kalau kemampuan lagi banyak ditatap sisi mata. Kita telah membaca novel Tom Nichols, ialah The Death of Expertise( Oxford, 2017), yang mengupas gimana ahli dilecehkan.
Jika di mari Yanuar menulis atasan tidak memperkirakan teknokrat( ahli), di Amerika Sindikat Donald Trump semenjak penentuan kepala negara( pilpres) tahun 2016 telah terang- terangan menyepelehkan ahli.” Kamu ketahui, aku senantiasa mau berkata ini… Ahli itu lelah( the experts are terrible)”( Nichols, perihal 210- 211).
Selaku bonus. Nichols pula menulis gimana Trump berpihak aktivisme antivaksin, serta berterus terang kalau dirinya memperoleh beberapa besar data hal politik luar negara dari kegiatan tv Pekan pagi.
Apa ingin dikata, dalam pertanyaan melaksanakan rezim, dalam style pengumpulan ketetapan, bumi terbagi antara yang membela teknokratis serta yang bukan. Dalam khazanah kesusastraan, sempat keluar novel yang semacam berjawab, ialah sehabis keluar Blink( Malcolm Gladwell, 2005), kemudian keluar Think( Michael LeGault, 2006).
Yanuar, mengambil Critique of Practical Reason Immanuel Kant( 1788)—di mana” keceriaan bukan dari akal, melainkan dari angan- angan”— dalam kondisi Blink serta Think, beliau dapat dibilang jatuh dalam dorongan hati instingtif, dalam perihal ini Blink.
Hendak namun, pula diketahui kalau di balik angan- angan itu terdapat profesi besar bertabiat teknis, administratif, serta kerap kali tidak nampak: semacam menata regulasi, mengatur perhitungan, serta membenarkan kebijaksanaan berjalan.
Seluruh itu Yanuar ucap selaku kewajiban penting teknokrat, ialah buat mengonkretkan angan- angan keceriaan jadi kebijaksanaan jelas serta terukur.
Mencuat persoalan, apakah perihal ini dapat dijawab dengan” Blink”, dengan memandang permasalahan sebentar mata?
Gladwell dengan ilustrasi mengenai kir arca Yunani( kouros) mengatakan terdapatnya” adaptive unconscious”( Mengenai ketidaksadaran adaptif) begitu juga kegiatan angkasawan otomatik pada pesawat jet modern yang bertugas cuma sedikit masukan data dari orang( yang diucap Gladwell selaku angkasawan” conscious”).
Satu tahun setelah itu( 2006), disertasi Gladwell ditentang oleh LeGault, yang jelas membingungkan lenyapnya adat- istiadat intelektual, ialah” Think”( Berasumsi). LeGault menerangkan, ketetapan genting tidak dapat terbuat dalam sebentar mata.
Bila pemikiran LeGault betul, kebijaksanaan bayaran Trump, yang mengguncang bumi, diputuskan tidak dalam kejapan mata, namun telah lewat pandangan matang( yang mengutamakan kebutuhan Amerika) walaupun hasilnya belum pasti semacam diharapkan.
Bila teknokratisme dibiarkan, serta ketetapan genting didapat bersumber pada dorongan hati instingtif, penuh emosi, apa yang dicermati Yanuar kalau dewan menteri mulai bertugas tanpa arah hingga kita dapat menanya lagi.
Apakah golongan dewan menteri memanglah memiliki agama kalau ketidaksadaran adaptif senantiasa dapat bertugas, apalagi bertugas dengan baik, buat memutuskan tujuan serta memelopori kelakuan dalam cara- cara yang mutahir serta berdaya guna?
Kodrat bangsa Indonesia saat ini lagi dipertaruhkan, apakah teknokratisme yang dibimbing oleh kebajikan filsuf- raja( Plato) yang memercayakan pada wawasan mendalam serta kebijaksanaan akhlak sedang jadi pegangan, ataupun betul telah dibiarkan.
Rasanya tidak butuh durasi lama buat memandang fakta kesuksesan, ataupun kekalahan, dari eksekusi rezim berlagak” Blink” dilatarbelakangi oleh The Death of Expertise yang jadi disertasi Yanuar.
Kaum cerdik cendekia ini sudah balance dalam memajukan permasalahan. Ialah, di satu bagian mengusutkan lenyapnya teknokratisme. Tetapi, beliau pula berikan memo apa kelemahan teknokratisme semata sampai dapat terjalin pengabaian wawasan( kebajikan) lokal serta kerumitan sosial.
Rezim yang terkini berjalan separuh tahun ini pasti sedang mempunyai durasi yang lumayan buat melengkapi diri, bagus dalam cara- cara pengumpulan ketetapan ataupun penanganan permasalahan.
Satu kebingungan merupakan di tengah hiruk- pikuk alat sosial, kapasitas psikologis buat deliberasi( think) serta meningkatkan deep thought( meminjam sebutan Yudi Latif, menurun). Kebalikannya, yang tampak merupakan everyday’ s thought, yang tidak mencukupi buat memahami kenyataan era saat ini yang rumit serta kompleks.
Dalam masa yang terus menjadi dipahami oleh informasi, algoritma, serta kebijaksanaan berplatform kemampuan teknis, timbul suatu arus pandangan serta aksi sosial yang diucap selaku antiteknokratisme. Aksi ini melantamkan kritik runcing kepada kekuasaan teknokrat— para pakar yang menggenggam andil berarti dalam pembuatan kebijaksanaan khalayak— serta mempersoalkan apakah kerakyatan sedang berarti kala suara orang dikalahkan oleh suara ahli.
Apa Itu Antiteknokratisme?
Antiteknokratisme merupakan tindakan kritis ataupun perlawanan kepada teknokrasi, ialah sistem rezim ataupun pengumpulan ketetapan yang mengutamakan kemampuan teknis dibandingkan representasi politik. Dalam teknokrasi, ketetapan khalayak sering didetetapkan oleh ahli ekonomi, insinyur, akademikus, ataupun aparat handal yang dikira lebih“ logis” serta“ adil” dari politisi yang diseleksi lewat pemilu.
Untuk para antiteknokratis, sistem ini menghasilkan lembah antara penguasa serta orang. Kebijaksanaan yang dikira objektif ataupun berplatform informasi malah kerap kali melalaikan nilai- nilai sosial, kesamarataan, serta pengalaman hidup warga.
Asal Mula serta Perkembangan
Aksi antiteknokratis tidaklah perihal terkini. Pangkal pemikirannya telah timbul semenjak era ke- 20, kala revolusi pabrik serta perkembangan teknologi mulai mendesak timbulnya kategori teknokrat dalam rezim. Tetapi, sesudah darurat finansial garis besar 2008 serta endemi COVID- 19, kritik kepada teknokrasi jadi terus menjadi runcing.
Dalam banyak negeri, ketetapan lockdown, vaksinasi massal, serta pemisahan sosial didetetapkan oleh regu pakar kesehatan warga tanpa cara deliberatif yang mengaitkan masyarakat dengan cara besar. Perihal ini, walaupun dicoba dengan hasrat bagus, mengakibatkan kegelisahan mengenai terbatasnya ruang kesertaan khalayak.
Di Eropa serta Amerika Sindikat, timbul partai- partai populis serta golongan awam yang dengan cara terbuka menentang“ ketentuan para ahli”. Di Indonesia sendiri, artikel ini mulai mencuat dalam diskursus politik lokal, paling utama dalam isu- isu semacam pengurusan area, pembangunan bunda kota terkini, sampai pembaruan pembelajaran.
Kritik kepada Teknosentrisme
Para pendukung antiteknokratisme menerangi gimana pemakaian ilmu serta teknologi dalam rezim kerap kali bertabiat politis serta tidak adil. Misalnya, pembangunan cetak biru prasarana besar kerap dibenarkan dengan analisa biaya- manfaat oleh para teknokrat, sementara itu cetak biru itu dapat merampas tanah masyarakat ataupun mengganggu ekosistem.
Mereka bilang ketetapan itu logis. Tetapi untuk kita, itu cuma logis buat elit yang diuntungkan,” tutur Ratna kekal, penggerak area dari Kalimantan Timur yang menyangkal cetak biru tambang yang disetujui bersumber pada amatan teknis.
Kritik ini pula ditunjukan pada apa yang diucap“ epistokrasi”— sistem yang memprioritaskan wawasan golongan atas di atas kemauan kebanyakan. Bagi beberapa intelektual, perihal ini dapat menjurus pada wujud terkini otoritarianisme berplatform informasi.
Antiteknokratisme serta Kerakyatan Partisipatif
Ternyata menyangkal ilmu wawasan dengan cara totalitas, antiteknokratisme mendesak pendekatan yang lebih partisipatif dalam pengumpulan ketetapan. Masyarakat wajib diberi ruang buat ikut dan menguasai serta memperhitungkan akibat kebijaksanaan teknis, bukan semata- mata jadi subjek dari kebijaksanaan itu.
Perkaranya bukan pada kemampuan, tetapi pada siapa yang menggenggam kontrol atas wawasan itu,” ucap Dokter. Haryanto Sudibyo, ahli metafisika politik dari Universitas Indonesia.“ Kerakyatan bukan cuma pertanyaan kemampuan, tetapi pula pertanyaan legalitas serta kesamarataan.”
Di sebagian kota, timbul inisiatif semacam citizen assembly serta participatory budgeting di mana masyarakat lazim dilibatkan dengan cara langsung dalam menata prioritas pembangunan. Aksi ini jadi ilustrasi kalau kemampuan teknis dapat berdampingan dengan kebijaksanaan orang.
Akibat Sosial serta Politik
Melonjaknya tindakan antiteknokratis memantulkan ketidakpuasan warga kepada bentuk pembangunan yang terpandang serta terkonsentrasi. Aksi ini pula berpadu dengan isu- isu kesamarataan sosial, bukti diri lokal, serta antipati kepada kesejagatan.
Tetapi, tidak sedikit pihak yang mempersoalkan antiteknokratisme selaku wujud anti- intelektualisme. Dalam sebagian permasalahan, antipati kepada ilmu serta ahli dipakai oleh golongan berlebihan kanan ataupun aksi konspiratif buat mengedarkan data ilegal.
Wajib dibedakan antara kritik kepada teknokrasi serta antipati kepada ilmu. Kita tidak dapat menyudahi kebijaksanaan khalayak cuma bersumber pada pandangan ataupun marah,” tutur Diah Saraswati, periset kebijaksanaan khalayak dari LIPI.
Oleh sebab itu, tantangan penting aksi antiteknokratis merupakan melindungi penyeimbang antara wawasan teknis serta nilai- nilai kerakyatan, tanpa terperosok pada irasionalitas.
Era Depan Antiteknokratisme
Di tengah pesatnya kemajuan intelek ciptaan( AI), big informasi, serta sistem pengumpulan ketetapan otomatis, persoalan mengenai siapa yang mengatur teknologi jadi terus menjadi berarti. Antiteknokratisme bisa jadi hendak lalu bertumbuh selaku keseimbangan dari daya teknokratis yang terus menjadi besar dalam rezim.
Beberapa golongan akademik apalagi mulai membahas perlunya ethics council ataupun democratic tech boards— badan yang membolehkan warga berikan masukan kepada algoritma ataupun sistem AI yang dipakai dalam kebijaksanaan negeri.
Dalam kondisi Indonesia, rumor ini jadi relevan bersamaan alih bentuk digital birokrasi serta pemograman pembangunan berplatform sistem digital. Apakah kita mau era depan yang seluruhnya diatur oleh dashboard serta penanda? Ataupun era depan yang senantiasa berikan ruang untuk suara masyarakat yang tidak terdengar di balik layar?
Penutup
Antiteknokratisme bukan semata antipati kepada para ahli, namun suatu bujukan buat membuat sistem yang lebih inklusif, seimbang, serta demokratis. Di tengah tantangan garis besar yang lingkungan, kerja sama antara ilmu wawasan serta harapan orang jadi kunci buat menghasilkan kebijaksanaan yang tidak cuma efisien, namun pula bergengsi.