Masyarakat Desa Kota Jakarta Memohon Kesamarataan Agraria

Masyarakat Desa Kota Jakarta Memohon Kesamarataan Agraria

Masyarakat Desa Kota Jakarta Memohon Kesamarataan Agraria – Gerakan Orang buat Reforma Agraria Perkotaan mengadakan menyuarakan kesamarataan.

Suara- suara dari gang kecil serta rumah- rumah berdempetan di tengah ibukota terus menjadi berdengung. Masyarakat desa kota Jakarta, dari Tanah Merah sampai Desa Bayam, menuntut satu perihal yang serupa: kesamarataan agraria. Di tengah pesatnya pembangunan, mereka merasa terpinggirkan dari hak sangat pokok— hak atas tanah tempat bermukim mereka.

Tereleminasi Untuk Pembangunan?

Semenjak sebagian tahun terakhir, wajah Jakarta berganti kilat. Jalur layang menjulang, bangunan pencakar langit menjamur, serta area elit lalu menyebar. Tetapi di balik bercelak itu, banyak masyarakat yang kehabisan rumah serta tanah tempat mereka berlindung sepanjang puluhan tahun.

Salah satu ilustrasinya merupakan masyarakat Desa Bayam, yang lebih dahulu direlokasi untuk pembangunan Jakarta International Ambang( JIS). Walaupun dijanjikan kediaman pengganti, banyak dari mereka sampai saat ini sedang bermukim di tenda- tenda gawat ataupun menumpang di rumah kerabat sebab kediaman pangkat yang dijanjikan belum dapat diakses dengan cara seimbang.

“ Telah 2 tahun kita menunggu kejelasan. Tuturnya terdapat rusun, tetapi kita wajib beri uang carter yang mahal. Sementara itu kita bukan alih ikhlas, kita digusur,” ucap Salamah( 48), mantan masyarakat Desa Bayam, pada reporter, Rabu( 2 atau 7).

Desa Tanah Merah: Hidup dalam Ketidakpastian

Di bagian lain Jakarta, masyarakat Tanah Merah, Jakarta Utara, pula hadapi kodrat seragam. Tanah yang mereka mendiami puluhan tahun dikira“ tidak legal” oleh negeri. Walaupun mereka mempunyai fakta pembayaran PBB serta pesan RT atau RW, status tanah mereka senantiasa tidak diakui. Ironisnya, mereka malah dituduh mendiami tanah negeri dengan cara bawah tangan.

“ Di mari kita telah bermukim semenjak dini 1990- an. Listrik serta air seluruh sah. Tetapi durasi kebakaran besar 2022 kemudian, tidak terdapat dorongan penyembuhan sebab tanah kita dikira buas,” tutur Mulyadi, figur warga setempat.

Saat ini, masyarakat Tanah Merah lalu mengupayakan akreditasi tanah mereka. Bersama sebagian badan dorongan hukum serta penggerak agraria, mereka mengajukan permohonan akta beramai- ramai, tetapi prosesnya tertahan sebab tidak terdapatnya pengakuan resmi dari penguasa wilayah.

Kesamarataan Agraria Sedang Jauh?

Penggerak agraria serta urban planner memperhitungkan kalau permasalahan kesenjangan tanah di Jakarta bukan semata perkara teknis, tetapi telah jadi darurat kesamarataan sistemis. Kota ini bertumbuh dengan akal sehat kapitalisme ruang— di mana tanah diperlakukan selaku barang, bukan selaku ruang hidup masyarakat.

“ Yang terjalin di Jakarta merupakan apa yang diucap‘ penggusuran sistemis’. Masyarakat desa kota kehabisan hak sebab tanah didapat ganti buat proyek- proyek besar, yang kerap kali malah tidak mereka nikmati khasiatnya,” ucap Bidadari Kartika, Sekjen Asosiasi Pembaruan Agraria( KPA).

Bagi informasi KPA tahun 2024, dari keseluruhan aduan bentrokan agraria di area perkotaan, Jakarta menaiki posisi ketiga paling tinggi di Indonesia. Pada umumnya, bentrokan timbul sebab cetak biru prasarana ataupun ganti guna tanah kawasan tinggal jadi area menguntungkan.

Penguasa Dimohon Muncul Dengan cara Adil

Masyarakat desa kota tidak kontan menyangkal pembangunan. Mereka cuma mau keikutsertaan yang berarti dalam tiap cara yang menyangkut hidup mereka. Dalam banyak permasalahan, masyarakat merasa tidak sempat dibawa berbahas semenjak dini.

“ Jika dari dini kita dilibatkan, diberi opsi, bisa jadi tidak semacam ini jadinya. Kita bukan anti pergantian, tetapi janganlah hingga cuma kita yang dikorbankan untuk pembaharuan kota,” tutur Nurhasanah, masyarakat Busut Duri yang sempat digusur pada 2016 kemudian serta sedang berjuang memperoleh ubah cedera.

Ahli hukum aturan ruang dari Universitas Indonesia, Dokter. Ferry Irwandi, mengatakan kalau kekalahan negeri penuhi prinsip kesertaan serta kesamarataan spasial merupakan pangkal dari konflik- konflik itu.“ Hukum memanglah menata pertanyaan aturan ruang, tetapi implementasinya sedang terpandang. Masyarakat kecil tidak menemukan tempat dalam pengumpulan ketetapan,” tuturnya.

Pemecahan: Sertifikasi Beramai- ramai serta Reforma Agraria Kota

Sebagian badan warga awam menganjurkan tahap aktual semacam sertifikasi beramai- ramai, akreditasi desa, sampai reforma agraria tipe perkotaan. Perihal ini bermaksud buat membagikan kejelasan hukum pada masyarakat desa kota, sekalian menghindari penggusuran sepihak.

Program“ Desa Pangkat” yang luang dicetuskan pada masa Gubernur Anies Baswedan jadi salah satu ilustrasi pendekatan yang lebih kemanusiaan. Tetapi sayangnya, aplikasi program itu tertahan serta tidak bersinambung maksimal di masa rezim selanjutnya.

Badan Dorongan Hukum Jakarta( LBH Jakarta) menulis kalau sampai medio 2025, sedang terdapat lebih dari 50 komunitas desa kota yang hidup tanpa kejelasan hukum atas lahannya. Mereka terhambur di area Jakarta Utara, Jakarta Timur, serta beberapa Jakarta Selatan.

Impian di Tengah Jalur Terjal

Walaupun jalur mengarah kesamarataan agraria sedang jauh serta penuh belokan, masyarakat desa kota Jakarta tidak berserah. Mereka mengadakan kelakuan, menyuarakan desakan di depan Gedung Kota, apalagi menggugat penguasa ke majelis hukum.

“ Kita tidak mau kanak- kanak kita lalu hidup dalam ketidakpastian. Tanah ini tempat kita lahir, besar, serta membuat hidup. Kita cuma memohon diakui serta dihormati,” jelas Suryati, bunda 3 anak dari Desa Kunir, Jakarta Barat.

Kebersamaan dari akademisi, mahasiswa, serta komunitas urban lalu mengalir. Beberapa kampus apalagi sudah menghasilkan peperangan desa kota selaku materi riset permasalahan di kategori pemograman kota.

Penutup: Tes Untuk Kota yang Beradab

Kesamarataan agraria bukan cuma hal dusun ataupun tanah kebun. Di tengah kota semacam Jakarta, perkara agraria menjelma dalam wujud bentrokan ruang hidup, penggusuran, serta pembedaan kepada masyarakat miskin kota. Pembangunan yang ceroboh kepada kesamarataan malah berpotensi melahirkan kesenjangan serta kekerasan sistemis yang lebih besar.

Bila Jakarta mau jadi kota yang seimbang serta kemanusiaan, hingga suara masyarakat desa kota wajib jadi bagian penting dari cara pemograman serta pembangunan. Sebab kota bukan cuma kepunyaan gedung- gedung, melainkan kepunyaan seluruh yang bermukim di dalamnya— tercantum mereka yang hidup di gang- gang kecil serta gang desa yang hampir terabaikan.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *