Film Kisah Pabrik Gula – suatu drama sosial berlatar pedesaan Jawa Timur pada masa peralihan Pembaruan mengangkat kisah pahit-manis kehidupan
Narasi berfokus pada figur penting, Pak Sastro( diperankan oleh Slamet Rahardjo), gali77 seseorang bos berumur yang sudah berbakti di Pabrik Gula Madusari sepanjang lebih dari 40 tahun. Beliau diketahui selaku wujud patuh, penuh pengabdian, tetapi keras kepala kepada pergantian. Bersama buruh- buruh loyal semacam Darmi( Laura Basuki), seseorang janda kuat, serta Bujang( Chicco Kurniawan), anak muda milenial yang terkini kembali dari perantauan, Pak Sastro berupaya menjaga idealismenya di tengah gelombang swastanisasi serta bahaya penutupan pabrik.
Ceruk Cerita
Film diawali dengan segmen mesin- mesin berumur yang berderak di dasar awan pagi. Suara gemuruh gilingan tebu berpadu dengan lagu singgungan para pegawai. Pabrik Gula Madusari berdiri kuat tetapi lusuh di tengah beberan cerang tebu yang mulai menurun. Atmosfer pabrik yang dahulu hidup saat ini suram, pendapatan pegawai terlambat dibayar, serta mesin kerap macet. Tetapi untuk Pak Sastro, pabrik ini bukan semata- mata tempat kegiatan, melainkan rumah, asal usul, serta harga diri.
Ketegangan timbul dikala seseorang administratur belia dari pusat, Dimas( diperankan oleh Konsentrasi Pratama), tiba bawa pesan dari departemen BUMN: Pabrik Madusari hendak ditutup serta tanahnya dijual ke penanam modal swasta. Dimas berlagak resmi serta dingin, mengantarkan kalau pabrik tidak lagi profitabel, serta masa mesin buku petunjuk telah berakhir. Pak Sastro marah, mendakwa penguasa melalaikan orang kecil. Antagonisme keduanya jadi pusat bentrokan film.
Bujang, keponakan Darmi, awal mulanya membela pada pergantian. Beliau mau digitalisasi, kemampuan, serta berasumsi kalau pabrik berumur cuma jadi bobot. Tetapi bersamaan durasi, sehabis memandang kenyataan hidup para pegawai serta mengikuti narasi era kemudian dari Pak Sastro, beliau mulai goyah. Beliau menciptakan kalau Pabrik Gula ini sempat jadi kebesarhatian dusun, menyekolahkan banyak anak orang tani, serta jadi saksi asal usul kolonial sampai kebebasan.
Dalam satu segmen kokoh, Pak Sastro bawa Bujang ke ruang arsip pabrik serta membuktikan memo penciptaan dari tahun 1940- an, komplit dengan gambar pegawai pribumi di dasar pengawasan bos Belanda.“ Kita dahulu di dasar kolonialisme, saat ini dijajah mesin serta angka- angka,” ucap Pak Sastro lembut. Segmen ini jadi momen penuh emosi yang men catat pergantian ujung penglihatan Bujang.
Bentrokan melambung dikala Darmi serta para pegawai mengadakan macet kegiatan. Mereka menuntut kejelasan kodrat serta menyangkal penggusuran. Penguasa mengirim petugas buat meredam keluhan, serta tabrakan juga tidak terelakkan. Dalam kekalutan itu, Pak Sastro terserang lontaran batu serta jatuh koma. Kejadian ini mengguncang seluruh pihak, tercantum Dimas, yang mulai mempersoalkan kedudukannya selaku” pelapor kebijaksanaan”.
Akhir film menampilkan atmosfer konferensi dengar opini di DPRD kabupaten, dengan Bujang saat ini berdiri selaku perwakilan masyarakat. Beliau membacakan statment yang ditulis tangan oleh Pak Sastro saat sebelum koma:“ Pabrik ini bukan kepunyaan negeri, bukan pula kepunyaan penanam modal. Pabrik ini kepunyaan orang yang menghidupi serta dihidupi olehnya.”
Film selesai dengan segmen simbolik: kanak- kanak kecil main di zona sisa pabrik yang saat ini berganti jadi halaman bimbingan gula, diatur koperasi masyarakat. Pak Sastro tewas, tetapi warisannya hidup selaku antusias beramai- ramai masyarakat dusun.
Analisa serta Catatan Moral
Pabrik Gula merupakan film yang penuh susunan arti. Beliau tidak semata- mata bercerita mengenai peperangan kategori, namun pula memegang rumor bukti diri, pembaharuan, serta peninggalan asal usul. Film ini melukiskan gimana pergantian ekonomi kerap kali tidak diiringi dengan sensibilitas sosial, serta gimana sistem yang didesain dari atas dapat memadamkan yang berkembang dari dasar.
Pak Sastro merupakan representasi angkatan berumur yang menaruh ingatan beramai- ramai mengenai kegiatan keras serta dedikasi. Sebaliknya Bujang memantulkan angkatan belia yang terapung- apung antara idealisme serta realita. Dimas, di bagian lain, merupakan wajah birokrasi yang kehabisan empati. Ketiganya jadi poros penting yang melukiskan gairah era dalam rasio mikro.
Sinematografi film ini amat kokoh. Pengumpulan lukisan di dalam pabrik sangat hidup, dengan pencerahan alami serta aransemen yang menampilkan ketuaan mesin dan kontras kehidupan para pegawai. Nada kerangka yang didominasi instrumen konvensional Jawa berikan daya marah yang tidak kelewatan, malah mendarat.
Satu daya lain dari film ini merupakan naskahnya. Perbincangan dampingi figur runcing, tidak saja teatrikal, tetapi memiliki kebajikan lokal. Perkataan semacam“ Kita bukan khawatir pergantian, kita cuma khawatir dibiarkan” jadi cuplikan yang membekas.
Kesimpulan
Pabrik Gula( 2025) merupakan film berarti yang pantas ditonton serta direnungkan. Beliau tidak menawarkan pemecahan praktis, namun mengajak pemirsa menguasai kerumitan pembangunan serta angka suatu asal usul lokal. Di tengah kekuasaan film- film menguntungkan, Pabrik Gula berdiri selaku buatan bioskop yang jujur, ikhlas, serta penuh jiwa.
Film ini berikan pelajaran kalau pergantian tidak sepatutnya tiba dengan penghapusan, tetapi dengan uraian serta pelibatan. Karena, semacam gula, era kemudian kita tidak senantiasa pahit—asal ketahui metode mencernanya.